Bisnis.com, JAKARTA — Pengelolaan dana pensiun dinilai tetap memiliki risiko dari selisih aset dengan kewajiban likuiditas. Oleh karena itu, pengelola dana pensiun atau dapen diimbau untuk mengantisipasi sejumlah penyebab risiko tersebut.
Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Bambang Sri Muljadi menjelaskan bahwa pengelolaan dana pensiun tetap menyimpan risiko, meskipun sifatnya relatif konservatif. Salah satu risiko yang dapat terjadi yakni defisit atau terjadinya selisih antara aset dana pensiun dengan kewajiban likuiditas berdasarkan aktuaria.
Menurutnya, setidaknya terdapat lima faktor penyebab terjadi selisih antara aset dan liabilitas dalam pengelolaan dana pensiun. Penyebab defisit itu muncul dari berbagai aspek, sehingga upaya antisipasi harus dilakukan di berbagai lini.
Pertama, menurut Bambang, defisit dapat terjadi karena adanya kenaikan gaji yang terkait dengan Penghasilan Dasar Pensiun (Phdp). Hal tersebut mengakibatkan bertambahnya kewajiban, tapi pendiri dana pensiun tidak mengiringinya dengan tambahan iuran.
Kedua, hasil pengembangan investasi yang tidak sesuai target sehingga tambahan aset netto tidak sesuai rencana. Selain itu, pengembangan investasi turut berkaitan dengan hambatan dalam penarikan iuran.
"Ketiga, adanya tunggakan iuran pendiri dan/atau keterlambatan iuran masuk ke akun dana pensiun, sehingga hasil investasi kurang optimal," ujar Bambang kepada Bisnis, Minggu (14/2/2021).
Keempat, penyebab defisit dalam penyelenggaraan dana pensiun adalah komposisi peserta pensiunan yang jauh lebih besar dari peserta aktif. Kondisi itu menyebabkan dana yang harus dibayarkan (cash out) lebih besar dari dana yang diperoleh (cash in).
Kelima, terjadinya kontraksi pasar atau instrumen pasar modal. Faktor tersebut dinilai cukup memengaruhi terjadinya defisit karena menyebabkan selisih penilaian investasi (SPI) menjadi negatif.
Kondisi defisit di antaranya terjadi dalam pengelolaan program Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Selisih antara aset dan liabilitas itu terjadi sejak 2019.
Berdasarkan laporan keuangan BPJS Ketenagakerjaan audited, nilai aset program JHT dan JP selalu berada di atas liabilitasnya. Misalnya, pada 2016 aset JHT lebih besar Rp3,19 triliun dari liabilitasnya dan aset JP lebih besar Rp40 miliar.
Kondisi itu terus terjadi sampai 2018, hingga pada 2019 nilai liabilitas program JHT dan JP melebihi asetnya. Pada 2019, total aset JHT sebesar Rp318,3 triliun sedangkan liabilitasnya Rp328,6 triliun, terdapat selisih Rp10,3 triliun.
Selisih lebih besar terjadi di program JP, yakni pada 2019 nilai aset Rp60,14 triliun menghadapi liabilitas Rp126,8 triliun atau terpaut jarak Rp66,6 triliun. Padahal, pada tahun sebelumnya aset senilai Rp40,4 triliun menghadapi liabilitas Rp40,34 triliun, terdapat lebih Rp65 miliar.
Kondisi defisit JHT semakin besar pada 2020, seperti tercantum dalam dokumen terkait kebijakan dan penanganan defisit program JHT yang diperoleh Bisnis. Berdasarkan laporan valuasi aktuaris, laporan keuangan audited, rekapituliasi rasio kecukupan dana (RKD), dan laporan keuangan JHT per 30 September 2020, tercatat bahwa JHT mengalami defisit Rp22,76 triliun atau RKD di posisi 89,55 persen.
"Posisi solvabilitas 31 Desember 2020 sudah membaik di level 95,92 persen dengan defisit sebesar Rp14,75 triliun," tertulis dalam dokumen yang diperoleh Bisnis.
Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan atau BPJAMSOSTEK Irvansyah Utoh Banja menilai bahwa selisih aset dan liabilitas program JHT merupakan dampak dari volatilitas pasar modal. Hal tersebut terjadi karena sejumlah dana JHT diinvestasikan di instrumen saham dan reksadana.
"Dalam portofolio aset JHT terdapat dana yang diinvestasikan pada instrumen investasi yang terpengaruh atau terpapar kondisi pasar, seperti saham dan reksadana, instrumen tersebut dapat menyebabkan kenaikan dan penurunan aset tergantung dengan kondisi pasar," ujar Utoh kepada Bisnis.
Dia pun menyatakan bahwa penurunan nilai aset bersifat fluktuatif. Hal tersebut membuat dana JHT memiliki potensi untuk meningkat kembali saat kondisi pasar membaik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel