Duh, Harga Bahan Baku Tahun Tempe Lagi-lagi Naik

Bisnis.com,15 Feb 2021, 06:00 WIB
Penulis: Lorenzo Anugrah Mahardhika
Perajin memproduksi tahu di salah satu pabrik tahu tradisional di Banda Aceh, Aceh, Kamis (1/10/2020). /ANTARA FOTO

Bisnis.com, JAKARTA - Harga biji kedelai terus menguat di tengah penurunan ekspor dari Amerika Serikat dan sentimen proyeksi kenaikan pasokan dari negara produsen. 

Dilansir dari Bloomberg pada Minggu (14/2/2020), harga biji kedelai berjangka untuk kontrak Maret 2021 terpantau naik hingga 0,33 persen ke US$13,7125 per bushel pada penutupan perdagangan Jumat (12/2/2021) lalu 

Satuan perdagangan kedelai adalah bushel atau gantang. Satu gantang setara 25,4 kilogram. Sejak awal tahun atau year to date (ytd), harga biji kedelai telah naik 4,31 persen.

Salah satu faktor penopang reli harga biji kedelai adalah rilis data ekspor dari Amerika Serikat yang berada dibawah konsensus sejumlah analis. 

Data dari United States Department of Agriculture (USDA) mencatat, angka ekspor biji kedelai AS hingga 4 Februari 2021 sebanyak 983 ribu ton.

Jumlah tersebut menurun 32,15 persen dibandingkan ekspor pada pekan lalu. Tercatat, AS mengekspor kedelai sebanyak 1,45 juta ton pada pekan sebelumnya.

Meski demikian, angka ekspor biji kedelai masih lebih tinggi dibandingkan catatan tahun lalu. Chief Strategist Allendale Inc., Rich Nelson mengatakan, angka ekspor bersih komoditas jagung dan kedelai pada pekan sebelumnya sudah lebih tinggi 34 persen dibandingkan total ekspor pada periode yang sama tahun lalu.

Nelson mengatakan, pergerakan positif harga biji kedelai merupakan bukti konkrit bahwa situasi pasar di AS masih cukup ketat. Kondisi tersebut juga mengindikasikan bahwa perkiraan ekspor AS belum tentu akurat.

Sebelumnya, USDA memperkirakan tingkat stok akhir tahun 2021 untuk biji kedelai adalah sebesar 120 juta bushel. Jumlah tersebut lebih rendah dibandingkan proyeksi pada awal Januari lalu sebesar 140 juta bushel.

“USDA memang cenderung menahan proyeksi terbarunya hingga angka pengiriman mengalami kenaikan pada beberapa bulan terakhir di 2021,” ujarnya dikutip dari Bloomberg, Minggu (14/2/2021).

Reli harga kedelai juga didukung oleh faktor cuaca yang menghambat proses produksi biji kedelai. Laporan dari AgRural juga menyebutkan, faktor cuaca kering yang dihadapi oleh Brazil juga menghambat proses penanaman benih kedelai pada paruh kedua tahun 2020. 

Di sisi lain, curah hujan tinggi yang melanda Brasil pada Januari 2021 lalu berimbas pada terhambatnya proses panen.

Proses panen dan pengiriman yang terhambat tersebut membuat total ekspor biji kedelai Brazil pada Januari 2021 anjlok menjadi 50 ribu metrik ton. Jumlah tersebut turun 96 persen secara year-on-year (yoy) bila dibandingkan dengan angka ekspor pada Januari 2020 sebanyak 1,4 juta metrik ton.

Laporan tersebut melanjutkan, curah hujan yang tinggi pada Januari lalu membuat sebagian kedelai yang telah ditanam belum matang. Hal tersebut berakibat pada penundaan panen yang lebih lama.

Sementara itu, tingkat permintaan kedelai dari China terus mengalami kenaikan. Tingginya permintaan dari China juga sempat melambungkan harga kedelai ke level tertingginya dalam enam tahun pada awal 2021.

Adapun, kenaikan permintaan biji kedelai dari China disebabkan oleh upaya pemerintah setempat untuk memulihkan industri peternakan yang terdampak flu babi Afrika beberapa waktu lalu. Para peternak di China menggunakan biji kedelai sebagai salah satu pakan ternak.

Analis Capital Futures, Wahyu Laksono mengatakan secara fundamental, kondisi pasar kedelai memang sedang bagus saat ini. Faktor cuaca dan tingginya permintaan dari China semakin memperkuat kenaikan harga.

Ke depannya, Wahyu mengatakan prospek harga kedelai masih positif untuk tahun ini. Apabila harga kedelai bertahan di atas US$12 per bushel, maka peluang penguatan lebih lanjut masih terbuka.

“Level harga tertingginya bisa mencapai US$15 per bushel, sedangkan harga terendahnya US$9 per bushel,” katanya.

Namun, apabila harga kedelai gagal bertahan di level US$12 per bushel, maka harga komoditas ini akan kembali ke kisaran tahun lalu, yakni pada posisi US$8 hingga US$12 per bushel.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rivki Maulana
Terkini