Bisnis.com, JAKARTA — Asuransi Jiwa Bersama atau AJB Bumiputera 1912 dinilai menghadapi kebuntuan dalam penyelesaian masalah pembayaran klaim. Setelah munculnya putusan Mahkamah Konstitusi, perseroan dinilai tidak memenuhi peraturan mana pun.
Ketua Tim Advokasi dan Contingency Plan Serikat Pekerja NIBA AJB Bumiputera 1912 F. Ghulam Naja menilai bahwa setelah dikabulkannya permohonan uji materiil Badan Perwakilan Anggota (BPA) oleh Mahkamah Konstitusi, Peraturan Pemerintah (PP) 87/2019 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Hal tersebut membuat ketentuan dalam Anggaran Dasar Bumiputera berlaku seutuhnya. Menurut Ghulam, berlakunya seluruh ketentuan itu menuntut kepatuhan dari seluruh pemangku kepentingan Bumiputera secara konsisten, tapi hal ini justru menemui kebuntuan.
"Permasalahan Bumiputera semakin lengkap, bukan hanya sekedar permasalahan likuiditas keuangan akibat kewajiban pembayaran klaim terhadap pemegang polis, tetapi juga masalah kebuntuan di internal yang sulit dilakukan oleh organ perusahaan," tulis Ghulam pada Rabu (17/2/2021) dalam keterangan resmi.
Menurutnya, Anggaran Dasar perseroan mengatur jumlah minimal anggota BPA, dewan komisaris, dan direksi untuk dapat menjalankan kegiatan operasional. Namun, jumlah yang ada saat ini tidak memenuhi ketentuan, baik terhadap Anggaran Dasar maupun PP 87/2019.
Serikat Pekerja Bumiputera mencatat bahwa keanggotaan BPA hanya tersisa dua orang, yakni Nurhasanah selaku Ketua dan Khoerul Huda. Keduanya menjadi anggota di periode 1 Juli 2015–30 Juni 2021.
Anggaran Dasar mengatur bahwa jumlah anggota BPA sebanyak 11 orang. Jumlah itu tidak terpenuhi karena anggota lainnya telah berakhir masa jabatannya, yakni periode 14 April 2015–31 Desember 2019 dan sejak saat itu tidak terdapat pemilihan anggota baru.
"Dewan Komisaris dengan ketentuan jumlah minimal tiga orang hanya terpenuhi dua orang, itupun Komisaris Independen, yaitu Zaenal Abidin dan Erwin T. Setiawan," tulis Ghulam
Sementara itu, direksi dengan ketentuan minimal tiga orang hanya terpenuhi satu orang, yaitu Dena Chaerudin sebagai Direktur SDM dan Umum definitif. Fungsi direksi lainnya dijalankan secara merangkap, termasuk oleh kedua orang komisaris.
"Jumlah direksi dan dewan komisaris yang ada saat ini tidak memenuhi standard tata kelola yang diperkenankan sebagaimana ketentuan yang berlaku di industri perasuransian. Kondisi demikian memicu kinerja bisnis yang tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya bahkan menghadapi banyak kendala," tulis Ghulam.
Serikat Pekerja mencatat bahwa kondisi tersebut berlangsung sejak 2019, dengan diisi berbagai proses bongkar pasang direksi dan dewan komisaris. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun telah berulangkali memberikan peringatan terkait keputusan-keputusan melalui Rapat Umum Anggota (RUA) Luar Biasa (LB) yang dinilai bertentangan dan tidak sesuai ketentuan PP 87/2019.
"Pelanggaran tersebut seringkali dilakukan oleh peserta RUA/BPA pada waktu itu. Terakhir pada tanggal 23 Desember 2020, RUA LB digelar dengan jumlah tiga orang peserta RUA dengan keputusan-keputusan yang dilaksanakan oleh organ perusahaan yang masih duduk hingga saat ini," tulisnya.
Menurutnya, dasar pengangkatan Zainal sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Utama masih dipertanyakan. Hal tersebut karena belum ditemukan secara jelas akta notaris mana yang mencatat pengangkatannya, mengingat Zaenal masih menjabat sebagai Komisaris Independen.
Kondisi itu dinilai membuat penyehatan perusahaan menemui kebuntuan. Saat Bumiputera mengalami kerugian, penyehatan melalui pendekatan usaha bersama maupun perseroan terbatas (PT) sulit dilakukan.
"Pemegang polis sepatutnya mempertanyakan wakilnya yang duduk di masing-masing daerah pemilihan [BPA], mengapa wakilnya dapat bertindak demikian dan bahkan telah secara nyata menciderai anggota-anggota yang diwakilinya dengan manfaat asuransi dari waktu dan jumlah yang selazimnya dapat dinikmati tepat waktu," tulis Ghulam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel