Perlu Tranformasi, OJK Dorong Bank Syariah Perbanyak Aksi Korporasi Anorganik

Bisnis.com,25 Feb 2021, 15:27 WIB
Penulis: M. Richard
Bank Syariah

Bisnis.com, JAKARTA - Perbankan syariah dinilai cukup stabil dalam menghadapi masa pandemi. Namun, tranformasi masih perlu dilakukan untuk dapat meningkatkan porsi pasar keuangan di jangka menengah.

Hal-hal yang dimaksud antara lain diferensiasi model bisnis dan produk, kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, kemampuan teknologi informasi, serta literasi inklusi keuangan syariah. Berdasarkan data OJK, baki pembiayaan bank syariah baik 8,08% menjadi 394,6 triliun per akhir tahun lalu. Dana pihak ketiga mencapai Rp475,5 triliun, naik 11,80% secara tahunan.

Di samping itu, kualitas pembiayaan juga semakin baik dengan rasio pembiayaan bermasalah turun 3 basis poin secara tahunan menjadi 3,08%. Rasio kecukupan modal berada pada 21,59% dan financing to deposits ratio berada pada 82,4% yang menunjukkan kemapuan ekspansif tahun ini semakin besar.

Kendati demikian, perbankan syariah tetap mengalami penurunan margin dengan net operating margin turun ke 1,55% dan beban operasional terhadap pendapatan operasional 83,63%.

Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menyampaikan perbankan syariah nasional memiliki potensi pengembangan yang besar. "Namun, upaya transformasi guna terus meningkatkan bisnisnya masih perlu dilakukan," katanya dalam Peluncuran Peta Jalan Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia 2020-2025, Kamis (25/2/2021).

Dia menyampaikan perbankan syariah saat ini masih belum terlalu kuat dalam diferensiasi model bisnis dan produk keuangan syariahnya. Padahal, nasabah membutuhkan solusi keuangan yang lengkap untuk menjawab semua kebutuhan finansial saat ini. Bank syariah nasional harus mampu melakukan pemekaran model bisnis tanpa harus meninggalkan azaz syariahnya.

Sebenarnya, Heru melanjutkan hal dipengaruhi oleh kapasitas bisnis yang masih terbatas. Meski sudah ada salah satu bank syariah yang mampu menembus aset Rp200 triliun yakni PT Bank Syariah Indonesia Tbk., rata-rata bank syariah lain masih banyak berada di dalam kelompok bank kecil. "Kami pun berharap banyak aksi korporasi anorganik di bank syariah untuk dapat menjawab meningkatkan kapasitas bisnisnya."

Heru menyampaikan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia untuk perbankan syariah masih sangat terbatas. Otoritas pengawas bahkan masih sangat kewalahan dalam mencari calon pemimpin di tengah pergantian jajaran dewan pengurus yang dinamis. "Kami berharap pelaku industri perbankan dan asosiasi cepat menjawab isu ini, agar lebih banyak lagi talent pool berkualitas untuk pengembangan perbankan syariah nasional," sebutnya.

Di samping itu, dia melanjutkan kemampuan teknologi juga masih tetap pelu ditingkatkan. Terlebih, pandemi membuat masyarakat tidak banyak melakukan mobilitas fisik, dan membutuhkan solusi keuangan di telepon genggamnya. 

Heru pun menyampaikan isu literasi dan keuangan syariah tetap perlu menjadi perhatian oleh pelaku industri perbankan syariah. "Index literasi inklusi masih rendah, agar lebih banyak juga masyarakat melek keuangan syariah," sebutnya.

Berdasarkan data OJK pada 2019 indeks literasi keuangan syariah ada di angka 8,93 persen, naik tipis dari posisi pada 2016 sebesar 8,1 persen. Di periode yang sama, inklusi keuangan syariah di Indonesia turun dari 11,1 persen menjadi 9,1 persen.

Adapun, Indonesia berhasil meraih peringkat kedua dalam Islamic Finance Development Report (IFDI) tahun ini. Meski aspek pendikan, kesadaran, tata kelola, dan tanggung jawab sosial perusahaan sudah semakin baik, tetapi integrasi antar pelaku usaha guna mendorong pertumbuhan kuantitatif masih menjadi catatan.

Dalam laporan IFDI 2020, peringkat teratas pengembangan industri keuangan syariah saat ini diduduki oleh Malaysia, Indonesia, Bahrain, UAE dan Saudi Arabia. Rangking Indonesia berdasarkan IFDI terus mengalami peningkatan tiap tahunnya, yaitu peringkat 10 di tahun 2018, peringkat 4 di tahun 2019, dan peringkat 2 di tahun 2020.

IFDI mengacu pada faktor-faktor instrumental yang dikelompokkan ke dalam lima bidang pembangunan yang dianggap sebagai indikator utama, yaitu Pertumbuhan Kuantitatif, Pengetahuan (Knowledge), Tata Kelola (Governance), Kesadaran (Awareness), dan Corporate Social Responsibility.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini