172 Tahun Hilang, Burung Pelanduk Kalimantan Kembali Ditemukan

Bisnis.com,02 Mar 2021, 22:19 WIB
Penulis: Desyinta Nuraini
Burung pelanduk /ANTARA

Bisnis.com, JAKARTA - Satwa endemik  burung pelanduk Kalimantan yang sempat dinyatakan punah sejak 1848 atau 172 tahun yang lalu, kembali ditemukan. Tepatnya di Provinsi Kalimantan Selatan.

Pejabat Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) Pertama, Balai Taman Nasional (TN) Sebangau Teguh Willy Nugroho mengatakan burung Pelanduk Kalimantan yang ditemukan sesuai dengan yang digambarkan oleh ahli ornitologi Prancis, Charles Lucien Bonaparte pada 1850.

Ini berdasarkan spesimen yang dikumpulkan pada 1840-an oleh ahli geologi dan naturalis Jerman, Carl A.L.M. Schwaner selama ekspedisinya ke Kalimantan. Sejak saat itu, tidak ada spesimen atau penampakan lain yang dilaporkan. 

Selain itu, asal muasal spesimen juga masih menjadi misteri, bahkan pulau di mana spesimen tersebut diambil juga tidak jelas. 

Teguh menyatakan asumsi awal bahwa spesimen tersebut diambil di Pulau Jawa, pada 1895. Spesimen inilah kemudian menjadi spesimen satu-satunya di dunia sehingga semua rujukan dan deskripsi morfologi burung mengacu kepada satu spesimen ini.

Burung yang memiliki nama ilmiah malacocincla perspicillata ini sebelumnya diklasifikasikan rentan oleh IUCN. Pada 2018, status burung ini berubah menjadi “Kurang Data” berdasarkan penelitian terbaru yang menunjukkan kurangnya informasi yang dapat dipercaya. 

Dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.106 tahun 2018, burung ini belum masuk ke dalam satwa yang dilindungi.  

Menurut Teguh, awal mula penemuan burung penyanyi ini merupakan ketidaksengajaan oleh dua orang penduduk lokal di salah satu wilayah di Kalimantan Selatan. Salah satu dari mereka merupakan anggota dari sebuah grup sosial media bernama Galeatus yang merupakan grup komunitas dan komunikasi mengenai seluk beluk burung. 

Setelah berdiskusi dan ditelaah oleh tim admin, mereka kemudian menghubungi ahli burung dari Birdpacker untuk mencari informasi lebih lanjut terkait dengan temuan tersebut.  

Dia menjelaskan terdapat perbedaan mencolok pada anatomi burung yang ditemukan dengan literasi yang ada saat ini diantaranya pada warna iris mata, paruh dan warna kaki. 

"Itulah yang membuat identifikasi mengalami kesulitan saat pertama kali melihat morfologi burung ini," beber Teguh seperti dikutip dari siaran pers KLHK, Selasa (2/3/2021).

Teguh menegaskan temuan ini juga membuktikan bahwa keanekaragaman hayati Indonesia masih ada pada bagian-bagian terdalam hutan. 

Menurutnya, pada kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, sangat penting membangun jaringan antara masyarakat lokal, peneliti pemula, peneliti profesional, serta berbagai pihak untuk dapat mengumpulkan informasi tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, terutama spesies penting yang memiliki sedikit data. 

"Jejaring ini dapat berdampak besar bagi kelestarian satwa di Indonesia,” sebutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Fatkhul Maskur
Terkini
'