Restrukturisasi Hampir Tuntas, Leasing Mulai Genjot Kredit Baru

Bisnis.com,03 Mar 2021, 16:15 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Pengunjung melintasi deretan mobil bekas yang dijual di Jakarta, Selasa (3/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Berkurangnya nasabah perusahaan pembiayaan (multifinance) yang melanjutkan program restrukturisasi, jadi indikator pulihnya perekonomian dan momentum menggenjot penyaluran baru industri.

Seperti diketahui, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebelumnya telah memperpanjang batas akhir masa restrukturisasi hingga Maret 2022.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno menjelaskan bahwa demi mengatasi moral hazard, kebanyakan multifinance telah meninjau kelayakan lanjut-tidaknya kontrak restrukturisasi debitur per Maret 2021.

Suwandi menjelaskan penurunan debitur restrukturisasi akan berdampak besar pada kelancaran arus kas multifinance karena menurunkan beban pencadangan dan membuka peluang menggenjot pembiayaan baru.

Oleh sebab itu, harapannya banyak debitur restrukturisasi yang mulai pulih dan kembali membayar cicilan. Adapun, debitur yang kondisinya benar-benar tak mampu lagi meneruskan cicilan, leasing pasti akan mengakomodasi untuk berhenti secara baik-baik.

"Kontrak restrukturisasi kebanyakan habis di Maret 2020, dan tentu ini jadi ajang tinjau ulang dan diskusi dengan debitur, bagaimana keadaan mereka setelah setahun menghadapi pandemi. Kami lihat sekitar 75 persen debitur itu sudah mau dan mampu meneruskan cicilan lagi," ujarnya, Rabu (3/3/2021).

Berdasarkan data OJK, akumulasi debitur multifinance yang mendapat restrukturisasi per 1 Maret 2020 mencapai 5,03 juta kontrak pembiayaan, dengan total outstanding pokok sebesar Rp150,52 triliun dan bunga sebesar Rp41,52 triliun.

Kepala Departemen Pengawasan IKNB 2B OJK Bambang W Budiawan menilai bahwa kebijakan restrukturisasi justru membuat mayoritas debitur tampak lebih fleksibel untuk dapat menyelesaikan kewajiban pembayaran angsurannya.

"Kami lihat hanya di kisaran rata-rata 5 sampai 10 persen saja debitur restrukturisasi [perusahaan pembiayaan] yang masih mengalami kesulitan menyelesaikan kewajibannya. Di antara mereka ada yang mengajukan restrukturisasi kembali, atau menyerahkan agunan untuk proses penyelesaian," ujarnya kepada Bisnis.

Bambang menggambarkan bahwa pulihnya nasabah yang mendapat restrukturisasi menjadi salah satu indikator bahwa kondisi perekonomian nasional telah pulih.

Oleh sebab itu, ditambah dengan program pemulihan dan penanganan pandemi, serta beragam relaksasi dari pemerintah dan OJK yang beririsan dengan realisasi penyaluran kredit baru multifinance, harapannya kegiatan pembiayaan bisa bangkit.

"Apabila semua ini berjalan baik dan perekonomian mulai berjalan normal kembali, setidaknya di awal Semester II/2020, kami cukup optimis proyeksi pertumbuhan piutang pembiayaan pada akhir tahun 2021 akan mencapai angka kisaran 4,5 persen sampai 7 persen," tambahnya.

Bambang menjelaskan pulihnya kondisi perekonomian setidaknya akan membangkitkan multifinance yang banyak bergerak di kegiatan sewa pembiayaaan atau finance lease, di segmen pembiayaan investasi atau modal kerja.

"Multifinance di sektor ini kinerjanya sangat bergantung pada pemulihan harga komoditas, permintaan dari luar negeri, dan pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur nasional, sedangkan untuk multifinance yang bergerak di multiguna, kinerja perusahaan tersebut sangat terpengaruh pemulihan daya beli, khususnya untuk pembelian kendaraan bermotor," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini