'Everything Will Be OK', Tewasnya Angel di Tengah Demo Antimiliter Myanmar

Bisnis.com,04 Mar 2021, 17:23 WIB
Penulis: Reni Lestari
Pengunjuk rasa saat melakukan aksinya di Yangon, Myanmar, 10 Februari 2021./Bloomberg/AFP/Getty Images-Sai Aung Main

Bisnis.com, JAKARTA - Seorang remaja yang mengenakan kaus bertuliskan slogan "Everything will be OK" pada demonstrasi antikudeta di Myanmar meninggal setelah ditembak di kepalanya kemarin, Rabu (4/3/2021).

Remaja itu hanyalah satu di antara 38 pengunjuk rasa yang tewas dan puluhan lainnya terluka, dalam kejadian yang menandai hari paling berdarah selama kerusuhan berminggu-minggu ini di Myanmar.

Myanmar yang sebelumnya dikenal sebagai Burma, jatuh ke dalam kekacauan pada tanggal 1 Februari ketika militer menggulingkan pemerintah yang dipilih secara demokratis dan menahan pemimpin Aung San Suu Kyi.

Sejak itu, warga turun ke jalan untuk melakukan serangkaian protes massa yang penuh kekerasan terhadap kudeta.

Di antara korban tewas adalah Angel, juga dikenal sebagai Kyal Sin, seorang penari berusia 19 tahun yang menjadi wajah dari tragedi yang sedang berlangsung. Remaja itu berpartisipasi dalam protes di Mandalay dengan mengenakan kaos bertuliskan "Everything will be OK".

Foto jasad Angel yang terbaring usai menerima tembakan, telah dibagikan di media sosial sebagai tindakan menentang kudeta, seperti halnya video remaja yang meneriakkan "Kami tidak akan lari" dan "Darah tidak boleh dicurahkan" sebelum kematiannya.

Angel yang diketahui bernama Ma Kyal Sin ini ternyata membawa pesan dan informasi tentang golongan darahnya. Dalam pesannya, dia menuliskan bahwa jika dirinya terluka dalam dan berada dalam kondisi kritis, agar jangan ada yang menyelamatkannya.

"Saya kan memberikan bagian kiri tubuh saya yang berguna kepada seseorang yang membutuhkan," ujar pesan yang tersebar di Twitter tersebut.

Seorang remaja kedua juga meninggal dalam pertumpahan darah kemarin.

"Hari ini adalah hari paling berdarah sejak kudeta terjadi," kata utusan PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener kepada media kemarin, dilansir news.com.au, Kamis (4/3/2021).

Dia menambahkan lebih dari 50 orang tewas sejak 1 Februari. Medic Aye Nyein Thu memberi tahu Al Jazeera bahwa dia telah membantu 10 kasus darurat sejak 1 Maret.

Sementara itu, juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat Ned Price mengecam kekerasan tersebut.

"Kami meminta semua negara untuk berbicara dengan satu suara untuk mengutuk kekerasan brutal oleh militer Burma terhadap rakyatnya sendiri," katanya.

Dia mengatakan, China yang sering menjadi musuh AS dan secara historis dianggap oleh militer Myanmar sebagai sekutu utamanya.

"China memang memiliki pengaruh di kawasan itu dan memiliki pengaruh dengan junta militer. Kami telah menyerukan kepada China untuk menggunakan pengaruh itu dengan cara yang konstruktif, dengan cara yang memajukan kepentingan rakyat Burma," kata Price.

Dia mengatakan Amerika Serikat, yang telah menjatuhkan sanksi kepada para pemimpin junta, sedang mempertimbangkan tindakan lebih lanjut.

Tekanan internasional meningkat dengan kekuatan Barat telah berulang kali menghantam para jenderal dengan sanksi. Inggris telah menyerukan pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Jumat pekan lalu, dan setelah serangkaian kematian kematian, Amerika Serikat mengatakan sedang mempertimbangkan tindakan lebih lanjut.

Namun, junta militer Myanmar sejauh ini mengabaikan kecaman global, menanggapi pemberontakan dengan kekuatan yang meningkat.

Hingga berita ini diturunkan Myanmar masih dalam kondisi kisruh. Jika Anda mengunjungi Twitter dan mencari hastag seperti #MilkTeaAlliance, #WhatsHappeningInMyanmar maka Anda akan menemukan banyak postingan terkait dengan perjuangan rakyat prodemokrasi di Negeri Seribu Pagoda tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hadijah Alaydrus
Terkini