KRL Jogja - Solo Jadi Momen Perbaikan Kualitas Transportasi Publik

Bisnis.com,05 Mar 2021, 14:09 WIB
Penulis: M Faisal Nur Ikhsan
Penumpang berada di dalam gerbong Kereta Rel Listrik (KRL) Yogya - Solo di Stasiun Yogyakarta, Gedong Tengen, DI Yogyakarta, Selasa (2/3/2021). KRL yang baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo itu diharapkan dapat memudahkan mobilisasi masyarakat serta meningkatkan pariwisata dan sektor ekonomi lainnya./Antara-Hendra Nurdiyansyah.

Bisnis.com, YOGYAKARTA – Pengamat transportasi mengingatkan pemangku kebijakan untuk tetap menjaga sekaligus meningkatkan kualitas layanan transportasi publik di DIY.

Arif Wismadi, peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada (UGM), mengatakan pengoperasian KRL Jogja – Solo yang menggantikan KA Prambanan Ekspres (Prameks) sementara ini hanya memiliki keunggulan dalam hal kecepatan, terlebih apabila dibandingkan dengan waktu tempuh apabila menggunakan moda transportasi pribadi. 

Harus selalu dijaga tingkat competitiveness-nya. Kalau tol [Jogja – Solo] sudah tersambung, maka kecepatan akan menjadi tidak begitu kompetitif lagi. Kalau itu yang terjadi, maka kita harus jaga layanan di aspek lain,” jelas Arif kepada Bisnis, Kamis (4/3/2021).

Arif menjelaskan bahwa spesifikasi teknis KRL Jogja – Solo memiliki keunggulan secara akselerasi apabila dibandingkan dengan KA Prameks. Sehingga, pemberhentian kereta api dapat dilakukan di lebih banyak stasiun tanpa mengurangi kecepatan kereta. Namun, hal tersebut juga jadi tantangan bagi penyelenggara layanan. Pasalnya, dengan bertambahnya stasiun pemberhentian, maka waktu tempuh KRL Jogja – Solo juga bisa bertambah lama.

Jangan sampai total [waktu tempuh] perjalanan terganggu. Waktu tempuh harus dipertahankan. Karena persepsi yang paling dasar ketika commuter sekarang dominan Jogja – Solo setelah menggunakan kereta baru kok jadi lebih lama, misalnya. Itu kan persepsinya yang baru kok lebih pelan?,” demikian jelasnya.

Oleh karena itu, Arif menyarankan agar pemberhentian kereta direkayasa sedemikian rupa sehingga dapat menyesuaikan dengan kebutuhan. “Karena kalau berhentinya terlalu lama, efeknya terhadap total waktu tempuh akan terasa. Jadi di pemberhentian yang penumpangnya tidak terlalu banyak, [waktu berhenti] harus dipersingkat,” tambahnya.

Arif juga menjelaskan bahwa permasalahan serupa juga dihadapi moda transportasi publik lainnya di DIY. Trans-Jogja misalnya, makin hari makin ditinggalkan masyarakat karena kalah saing dengan kecepatan kendaraan pribadi. Menurutnya, penyebab utamanya adalah belum adanya keberanian dari Pemerintah Provinsi DIY untuk membuat jalur khusus Trans-Jogja.

Jogja belum berani untuk menggunakan jalur khusus. Dan separatornya itu sebenarnya perlindungan uang masyarakat. Artinya, kalau [Trans-Jogja] dibiarkan bercampur [dengan kendaraan pribadi di jalanan] dan macet, maka akan terjadi penundaan. Efeknya ada pada frekuensi [keberangkatan] dan waktu perjalanan,” jelasnya.

Peningkatan kualitas layanan tersebut diperlukan agar dapat menarik minat masyarakat untuk beralih ke moda transportasi umum. Pasalnya, berdasarkan data Pemerintah Provinsi DIY, sepanjang tahun 2015 – 2019, jumlah penumpang Trans-Jogja terus mengalami penurunan. Pada tahun 2015, jumlah penumpang Trans-Jogja mencapai 6.468.678 penumpang per tahun. Sedangkan, pada tahun 2019, jumlahnya menurun drastis hingga berada di angka 5.282.737 penumpang .

Mungkin sekarang mereka [Trans-Jogja] hanya menjaga ketepatan waktu. Janji waktu. Karena tidak bisa menjaga kecepatan. Padahal, janji waktu bukan sesuatu yang ditargetkan karena dua-duanya harusnya jadi target,” jelas Arif.

No.

Tahun

Jumlah Penumpang / Tahun

1.

2015

6.468.678

2.

2016

6.409.205

3.

2017

5.317.484

4.

2018

5.880.610

5.

2019

5.282.737

 

Tabel jumlah penumpang Trans-Jogja pada tahun 2015 – 2019
Sumber:
BPPSD Bappeda Provinsi DIY

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Miftahul Ulum
Terkini