Bisnis.com, JAKARTA — India menjadi salah satu negara yang bisa mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya dengan biaya investasi yang rendah. Bahkan, Pemerintah India berkomitmen menjadikan negara itu sebagai salah satu pemain terdepan dalam energi surya dunia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menjelaskan bahwa India sudah mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) selama satu dekade ke belakang. Negeri Bollywood memiliki program nasional sejak 2008 untuk mendorong pengembangan PLTS.
India mempunyai target 175 gigawatt (GW) PLTS pada 2022. Dengan pengembangan selama ini harga listrik dari PLTS di India dari proyek skala besar dengan skema solar park, harganya sangat murah dengan rata-rata di bawah US$0,04 per kWh.
Baik India dan Portugal, kata Fabby, skema yang digunakan untuk pengembangan PLTS adalah reverse auction. Menurutnya, skema itu terbukti cukup efektif untuk menurunkan harga listrik dari proyek PLTS.
"Menurut saya, pemerintah tidak hanya melihat harga listrik PLTS di India dan Eropa, tapi mempelajari apa yang dilakukan negara-negara itu untuk mendapatkan harga yang rendah," katanya kepada Bisnis, Senin (8/3/2021).
Dia menambahkan bahwa skema reverse auction bisa diterapkan di Indonesia sepanjang kondisi-kondisi pendukungnya terpenuhi. Alasannya, skema itu membutuhkan kejelasan kapasitas proyek, jaminan evakuasi daya, lokasi yang pasti, serta proses lelang yang kompetitif.
Menurut Fabby, kepastian lokasi merupakan syarat yang mutlak. Untuk itu, lahan tersebut perlu disediakan oleh pemerintah beserta kepastian akses jaringan listrik untuk evakuasi daya dan standar kontrak yang transparan untuk memberikan kepastian untuk investor.
Sebagai negara dengan negara dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di dunia, India masih mampu memberi lahan untuk pengembangan PLTS. Fabby menuturkan, India mempunyai lahan-lahan yang tidak produktif yang terletak di gurun yang dijadikan lokasi solar park. Di samping itu, India mengembangan PLTS atap dengan melakukan agregasi demand dan melakukan reverse auction.
"Indonesia bisa mencari lahan yang tidak produktif. Bisa dikembangkan di [wilayah] Indonesia [bagian] timur seperti Sumba atau Flores dan listrik dibawa dengan kabel HVDC [high voltage direct current]. Kalau di Jawa, lahan terbatas, yang cocok adalah PLTS atap," ungkapnya.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif mengatakan bahwa kementerian terus berupaya mengatasi mahalnya investasi untuk PLTS yang penggunaannya berkelanjutan. Pasalnya, pemakaian PLTS hanya mampu sepanjang 5 jam—6 jam per hari, apabila melebihi itu, biaya investasinya akan lebih besar.
Namun, Arifin optismistis pengembangan PLTS akan semakin murah ke depannya seiring dengan berkembangnya teknologi. Menurutnya hal itu mengacu pada negara-negara lain yang telah memproduksi listrik dari PLTS dengan biaya murah.
"Sekarang ini sebagaimana diketahui, dulu solar panel juga mahal tapi sekarang jadi murah, dulu masih belasan cent, sekarang hanya US$5 cent ke bawah, malah India men-declare bisa produksi US$2 cent, Portugal US$1,4 cent, ini suatu terobosan yang kita ikuti," ungkapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel