Mengkhawatirkan! Lonjakan Harga Pangan Sentuh Rekor 6 Tahun Terakhir

Bisnis.com,08 Mar 2021, 15:28 WIB
Penulis: Reni Lestari
Kebutuhan pokok di pasar tradisional./Ilustrasi-Bisnis

Bisnis.com, JAKARTA - Indeks harga pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) naik selama sembilan bulan berturut-turut pada Februari, reli terpanjang sejak 2008. Lonjakan harga barang pangan mulai dari gula hingga minyak nabati pada bulan lalu menyentuh level rekor baru dalam enam tahun.

Lonjakan harga antara lain dipengaruhi China yang membeli pasokan pangan dalam jumlah besar, cuaca buruk yang mengganggu panen, dan pasokan yang diperketat.

Selain memperburuk ketidaksetaraan pangan di negara-negara yang terpukul parah oleh pandemi Covid-19, harga pangan yang lebih tinggi juga berisiko mempercepat inflasi, membuat bank sentral lebih sulit untuk memberikan lebih banyak stimulus.

"Tekanan ini sangat mengkhawatirkan. Harga internasional yang lebih tinggi benar-benar dapat memperburuk kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi, terutama untuk beberapa kelompok rentan,” kata Shirley Mustafa, ekonom FAO, dilansir Bloomberg, Senin (8/3/2021).

Negara berpenghasilan rendah dan bergantung pada impor mungkin termasuk yang paling terpengaruh. FAO dalam laporannya menyebutkan kebutuhan impor biji-bijian negara-negara itu diperkirakan di atas rata-rata pada rentang 2020-2021. Diperkirakan juga sekitar 45 negara membutuhkan bantuan eksternal untuk memenuhi kebutuhan pangan.

"Kami melihat sejumlah negara di satu sisi melihat produksi yang lebih besar, tetapi juga dengan kebutuhan impor yang meningkat. Ini adalah akar dari kekhawatiran yang kami miliki atas kenaikan baru-baru ini,” kata Mustafa.

Namun demikian, jika dibandingkan dengan puncak 2011, harga pangan global masih jauh di bawahnya, dan ada tanda-tanda bahwa kenaikan harga biji-bijian akan melambat. Bulan lalu harga biji-bijian naik 1,2 persen, paling tidak sejak Juli.

Menurut FAO, masalah pasokan siap mereda karena produksi gandum diperkirakan mencapai rekor 780 juta ton musim depan, sementara produksi jagung di Amerika Latin terlihat di atas rata-rata.

Analis Commerzbank AG Michaela Helbing-Kuhl dalam sebuah catatan mengatakan kenaikan harga pangan juga sering dirasakan tidak merata di seluruh dunia karena banyak negara telah mendorong perbedaan antara harga internasional dan lokal melalui subsidi atau pajak perdagangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini