Ekspor CPO RI Melenggang ke Swiss, Ini Saran untuk Persepsi Publik

Bisnis.com,09 Mar 2021, 16:08 WIB
Penulis: Dany Saputra
Pekerja menata kelapa sawit saat panen di kawasan Kemang, Kabupaten Bogor, Minggu (30/8/2020). Badan Litbang Kementerian ESDM memulai kajian kelayakan pemanfaatan minyak nabati murni (crude palm oil/CPO) untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) hingga Desember 2020. Bisnis/Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA – Ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia ke Swiss dipastikan aman setelah mayoritas rakyat Swiss mendukung referendum perjanjian kemitraan perdagangan bebas antar kedua negara, Minggu (7/3/2021).

Sebanyak 51,6 persen rakyat Swiss mendukung implementasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) antara Indonesia-The European Free Trade Area (EFTA), atau IE-CEPA, setelah melalui perundingan yang berlangsung selama 8 tahun dengan 15 putaran.

Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies Yose Rizal Damuri mengatakan ratifikasi perjanjian tersebut bisa mendorong kegiatan perdagangan antar kedua negara.

Akan tetapi, dia juga menyoroti terkait persepsi publik terhadap permasalahan tersebut di Indonesia. Menurutnya, otoritas perlu menanggulangi hal tersebut sebelum menjadi persoalan yang signifikan.

“Pada jangka waktu menengah dan panjang kita juga harus mengubah atau meng-address permasalahan tentang lingkungan atau persepsi tentang lingkungan,” ujarnya, Selasa (9/3/2021).

Dia mengatakan pembebasan bea masuk ekspor CPO RI ke negara-negara blok dagang EFTA termasuk Swiss, bisa menjadi percuma apabila konsumen melihat sawit bisa merusak lingkungan.

Menurutnya, ada permasalahan yang lebih serius ketimbang referendum yang dilakukan terkait ekspor sawit RI ke Swiss. Adapun, terdapat banyak tudingan negatif terhadap sawit yang disebabkan oleh pendapat bahwa komoditas ekspor nonmigas tersebut menyebabkan deforestasi.

Yose menilai pemerintah harus membuat perubahan yang cukup besar terkait produksi sawit atau proses komunikasi kepada masyarakat.

“Oleh karena itu kita harus serius dalam menangani permasalahan dalam arti kata tentunya memperbaiki kondisi dalam negeri serta mengomunikasikan tindakan atau kebijakan yang sudah diambil supaya persepsi lebih baik,” jelasnya.

Sebelumnya, referendum di Swiss dilakukan setelah terhambatnya proses ratifikasi perjanjian. Terhambatnya ratifikasi itu disebabkan oleh penolakan berupa petisi dari salah satu LSM Swiss karena isu komoditas kelapa sawit Indonesia yang dituduh merusak lingkungan.

Melalui perjanjian ini, produk-produk Indonesia akan mendapatkan akses pasar berupa konsesi penghapusan dan pengurangan tarif sehingga akan lebih kompetitif ke pasar EFTA.

Contohnya, penghapusan 7.042 pos tarif Swiss dan Liechtenstein, 6.338 pos tarif Norwegia, dan 8.100 pos tarif Islandia.

Diketahui, total ekspor Indonesia ke pasar blok dagang Eropa tersebut pada 2020 mencapai US$ 3,4 miliar dengan neraca surplus bagi Indonesia sebesar US$1,6 miliar.

"Hasil referendum ini membawa hasil yang positif bagi Indonesia, karena dengan hasil ini berarti kerjasama IE-CEPA dapat dilanjutkan, sehingga sekitar 8.000 - 9.000 produk Indonesia akan diberikan fasilitas tarif bea masuk sebesar 0 persen," ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Amanda Kusumawardhani
Terkini