OJK Beri Lampu Hijau 2 Skema Kolaborasi BPR dan Fintech P2P Lending

Bisnis.com,17 Mar 2021, 22:22 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan petunjuk teknis terkait pelaksanaan kerja sama antara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dengan platform teknologi finansial peer-to-peer (fintech P2P) lending.

Setidaknya ada enam tujuan yang OJK inginkan atas terciptanya kolaborasi antara kedua industri. Salah satunya, tercipta value chain financing ekonomi digital. Lewat kerja sama, harapannya BPR semakin mendapat kemudahan dalam akuisisi nasabah, peningkatan kualitas asesmen risiko, dan perluasan target pasar.

Sementara untuk platforn P2P, harapannya mampu meningkatkan fee based income dari permodalan BPR, serta akselerasi nilai dan cakupan penyaluran pinjaman ke daerah-daerah.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat menjelaskan bahwa bagi BPR, kolaborasi dan kerja sama dengan Fintech Lending dapat menjadi alternatif solusi untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan memperkuat analisis penyaluran kredit dengan target nasabah yang lebih luas.

"Sementara itu, bagi Fintech Lending, kolaborasi dan kerja sama tersebut dapat memperluas alternatif penyediaan dana dan memperkuat monitoring dalam penyaluran pinjaman sampai ke daerah-daerah," tulisnya dalam Panduan Kerja BPR & Fintech Lending, Rabu (17/3/2021).

Namun demikian, otoritas menyadari masing-masing LJK ini memiliki pengaturan tersendiri dan karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu panduan kerja sama BPR dengan Fintech Lending sebagai pedoman pelaksanaan bagi masing-masing LJK maupun pengawas yang dapat menjembatani perbedaan karakteristik dari kedua LJK tersebut.

Dalam beleid panduan ini, OJK pun memberikan lampu hijau terhadap dua skema kerja sama antara BPR dengan platform P2P, yakni skema channelling dan skema referral. Dalam skema channelling, proses kredit digelar melalui platform P2P selaku penyalur. BPR akan bertindak selaku pendana (lender institusi), sementara debitur akan berlaku sebagai peminjam (borrower).

Syaratnya, BPR harus memiliki pedoman atau Standar Prosedur Operasional (SPO) pemberian kredit melalui kerja sama dengan fintech lending, serta tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian dan strategi mitigasi risiko seperti penetapan batas atau limit penyaluran kredit melalui fintech lending.

Sebaliknya, dalam skema referral, proses kredit digelar melalui BPR, melalui rekomendasi platform P2P. Mekanismenya, pengajuan pinjaman diawali melalui platform milik Fintech Lending, kemudian apabila kriteria calon borrower sesuai dengan yang disampaikan pada PKS, platform P2P menyampaikan Informasi kepada BPR.

Setelah dilakukan penilaian atau asesmen terhadap data dan informasi calon debitur, dan kemudian menyampaikan persetujuan pendanaan, maka platform P2P menyampaikan persetujuan pinjaman kepada debitur, dengan informasi bahwa proses pinjaman selanjutnya dilakukan oleh BPR secara langsung.

Kerja sama dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian infrastruktur TI di antara BPR dan Fintech Lending, pelaksanaan kerja sama pun harus atas seizin OJK.

Adapun, dalam hal terdapat pengembangan skema kerja sama lainnya atau penyaluran kredit dengan skema kerja sama channeling oleh BPR melalui fintech lending dan dilakukan di luar wilayah jaringan kantor BPR, harus melalui mekanisme piloting review untuk mendapatkan persetujuan lebih lanjut dari pengawas OJK bahwa kerja sama dapat dilaksanakan.

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Heru Kristiyana menjelaskan lebih lanjut bahwa mekanisme kerja sama ini diharapkan mampu membangkitkan kinerja BPR dari pandemi, sekaligus memulai era digitalisasi.

"Kolaborasi dan kerja sama penting bagi industri BPR dalam meningkatkan adaptasi teknologi informasi dan digitalisasi sebagai salah satu arah pengembangan BPR ke depan. Sedangkan di sisi lain, dapat sebagai akselerasi pendanaan di daerah bagi Fintech Lending," ungkapnya.

Pasalnya, berdasarkan pengamatan OJK, kerja sama ini bisa saling menutupi kekurangan masing-masing industri, di mana BPR tampak lebih lambat mengadaptasi teknologi, akuisisi pengguna lebih lama dan mahal sebab dilakukan secara tatap muka, analisis risiko pun mahal karena dilakukan secara manual.

Adapun para platform fintech lending cenderung memiliki SDM terbatas, belum dapat memahami budaya dan kebiasaan masyarakat lokal yang tersebar di sekitar 17 ribu pulau Indonesia, bergantung sepenuhnya pada kualitas infrastruktur teknologi informasi, serta risiko mekanisme full online.

Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank OJK Riswinandi berharap kerja sama ini mampu memperluas akses fintech P2P, menilik hingga kini kebanyakan realisasi penyaluran pinjaman industri masih berkutat kepada borrower yang berdomisili di pulau Jawa.

Sekadar informasi, OJK mencatat dari total new loan industri P2P yang mencapai Rp74,41 triliun sepanjang 2020, penyaluran ke luar Jawa hanya berkisar Rp18,85 triliun. Apabila dilihat berdasarkan nilai penyaluran akumulatif sejak industri berdiri yang mencapai Rp155,9 triliun pun tampak sangat jauh, di mana penyaluran ke luar Jawa hanya Rp23,51 triliun, sementara Jawa mencapai Rp132,38 triliun.

"Jumlah dan kantor BPR yang banyak dengan jaringan kantor yang tersebar di seluruh Indonesia, serta faktor pengalaman dan kedekatan personal dengan nasabah merupakan nilai lebih yang dimiliki BPR, yang dapat memperbaiki kualitas penyaluran pinjaman dari Fintech Lending dan mem perkuat industri Fintech Lending hingga ke pelosok Indonesia," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Oktaviano DB Hana
Terkini