Bisnis.com, JAKARTA — Besaran iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dinilai tidak akan mengalami perubahan pada tahun depan, meskipun terdapat kewajiban peninjauan iuran.
Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar kepada Bisnis, Jumat (19/3/2021), menanggapi beredarnya informasi bahwa besaran iuran peserta mandiri kelas III batal naik pada 2021. Namun, informasi itu kemudian diketahui tidak tepat.
Dia menilai bahwa tarif iuran yang ada saat ini masih layak untuk dipertahankan. Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020, peserta mandiri kelas III dikenakan iuran Rp42.000 yang terdiri dari dua komponen, yakni subsidi pemerintah dan iuran yang dibayarkan peserta.
Pada 2020, subsidi dari pemerintah tercatat sebesar Rp16.500 dan peserta membayar iuran Rp25.500 sehingga totalnya menjadi Rp42.000. Nilainya berubah pada 2021, yakni subsidi menjadi Rp7.000 dan peserta membayar Rp35.000, dengan jumlah akhir tetap sama.
Menurut Timboel, besaran iuran pada 2021 layak untuk dipertahankan, walaupun terdapat kewajiban untuk meninjau besaran iuran setiap 2 tahun. Peninjauan terakhir berlangsung pada 2020.
"Sebenarnya dari sisi RKAT [Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan] tahun ini, kalau sesuai ketentuan masih bisa surplus, jadi kenaikan iuran enggak terlampau signifikan juga sekarang. Tahun 2020 [iuran] baru naik, 2021 enggak, 2022 menurut saya pasti pemerintah enggak mau naikin," ujarnya.
BPJS Watch meyakini dampak pandemi Covid-19, melebarnya defisit APBN, dan pendapatan pajak yang masih rendah akan menjadi pertimbangan pemerintah dalam menahan kenaikan iuran pada 2022. Alokasi APBN untuk JKN pun dinilai akan bertahan di kisaran Rp48,7 triliun.
Di sisi lain, sambung Timboel, iuran merupakan sumber pendapatan utama dari program JKN. Hal tersebut karena regulasi yang ada membuat struktur pendapatan berasal dari iuran, kontribusi pajak rokok, dan bantuan pemerintah—jika terjadi defisit.
Sementara itu, pendapatan iuran terbesar masih berasal dari segmen penerima bantuan iuran (PBI), yang notabene dananya berasal dari APBN. Selanjutnya, terdapat sumber iuran dari segmen pekerja penerima upah (PPU), dan terakhir dari peserta mandiri.
"Enggak bisa terus berharap dari pemerintah [melalui subsidi jika defisit], memang iuran harus sesuai perhitungan aktuaria. Kalau ada yang lain paling pendapatan investasi, di deposito, tapi itu paling tidak signifikan," ujar Timboel.
Jika ditilik lebih dalam, denda tunggakan iuran pun dapat menjadi pendapatan BPJS Kesehatan, tetapi jumlahnya tidak besar. Saat ini, denda yang dikenakan sebesar 5 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel