Bisnis.com, JAKARTA — Pendiaman berbagai macam penyimpangan atau fraud dinilai sebagai penyebab terjadinya korupsi di sektor finansial, termasuk lembaga pengelola aset publik. Kasus Jiwasraya dan Asabri dinilai sebagai salah satu contoh pendiaman yang berdampak besar.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo menjelaskan bahwa sepanjang 2020, pihaknya mencatat ada 61 kasus penindakan tindak pidana korupsi, yakni 28 kasus di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan 33 kasus Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
Dari kasus-kasus yang ada, empat pola korupsi yang kerap terjadi di BUMN dan BUMD adalah tindakan yang menyebabkan kerugian keuangan negara, praktik suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, dan gratifikasi. Pola-pola itu ditemukan dalam kasus PT Asuransi Jiwasraya (Persero) dan PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri.
ICW menggarisbawahi dua masalah utama yang menyebabkan terjadinya korupsi atau fraud di lembaga pengelola aset publik. Pertama, tekanan politik, karena organisasi atau institusi tersebut menjadi 'sapi perah' bagi para politisi atau pejabat publik.
Kedua, masalah tata kelola internal, khususnya dalam aspek sistem kendali internal. Masalah ini dinilai akut karena sistem yang ada tidak cukup mencegah tindak pidana korupsi, khususnya karena terjadi pembiaran terhadap kecurangan yang ada.
"Kalau berkaca ke kasus Jiwasraya dan Asabri, sistem auditnya juga sudah berjalan dan sudah mengidentifikasi berbagai macam bentuk penyimpangan yang terjadi, tapi kemudian temuan-temuan itu tidak digubris oleh pengambil keputusan. Ini yang berbahaya," ujar Adnan dalam diskusi Dana Pekerja: Amankah Investasi di Pasar Modal, Selasa (23/3/2021).
Menurutnya, sistem di lembaga jasa keuangan sudah mampu menemukan dan mengidentifikasi berbagai macam fraud. Namun, terjadi pendiaman-pendiaman terhadap hasil identifikasi sistem itu sendiri, yang bahkan terjadi di perusahaan pelat merah.
Sebagai contoh, ICW menilai bahwa dalam kasus Jiwasraya terjadi pembiaran terhadap hasil audit internal. Bahkan, hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun dinilai tidak digubris, mencerminkan terdapat kelemahan di berbagai jenjang pencegahan fraud.
Adnan menilai bahwa pendekatan teknokratis BUMN dan BUMD sudah menciptakan mekanisme tata kelola perusahaan dengan cukup lengkap. Ketentuan, standar operasi prosedur (SOP), hingga sistem pengawasan sudah tersedia dan melekat dalam aktivitas setiap perusahaan.
"Kalau belajar dari kasus Jamsostek dulu, Jiwasraya dan Asabri yang kemarin masuk proses hukum, isunya selalu ada pengabaian red flag. Dalam kasus hari ini sebenarnya pelanggaran yang dibiarkan, yang kemudian melahirkan bleeding sehingga tidak bisa dikendalikan lagi," ujarnya.
ICW menjabarkan bahwa persoalan serius yang terjadi saat ini adalah praktik korupsi kerap diorkestrasi oleh orang-orang dengan kekuatan besar dalam institusi tersebut. Sistem yang ada pun menjadi gagal menjalankan fungsinya dengan baik.
"Kalau ada temuan fraud dan pelakunya middle management atau karyawan biasa mungkin langsung ada eksekusi. Kalau sudah direktur ini itu, bagaimana sebuah sistem bisa menghentikan?" ujar Adnan.
Menurutnya, mekanisme check and balances harus dibangun saat BUMN dan BUMD masih diliputi oleh potensi korupsi. Hal itu pun bergantung kepada kerja penegak hukum, jika mekanisme biasa sudah tidak mampu mencegah terjadinya praktik korupsi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel