Bisnis.com, JAKARTA - Era ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 memaksa perbankan lebih selektif menyalurkan kredit modal kerja UMKM. Sebaliknya, penyaluran dari sektor Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) justru bertumbuh.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa pertumbuhan penyaluran kredit atau pinjaman produktif ini pun diraih industri pembiayaan (multifinance), fintech peer-to-peer (P2P) lending, bahkan sampai lembaga keuangan mikro lain.
Sebelumnya, Anggota Dewan Komisioner merangkap Kepala Eksekutif Pengawas IKNB OJK Riswinandi mengungkap industri P2P mampu memperbesar pangsa disbursement penyaluran baru ke sektor produktif sepanjang 2020 dan diharapkan mampu berlanjut pada 2021.
Tepatnya mencapai Rp28,24 triliun atau 37,96 persen dari total new loan di Rp74,41 triliun. Persentase ini meningkat dari capaian periode sebelumnya, yaitu Rp18,66 triliun atau 31,21 persen total new loan Rp58,83 triliun.
Adapun, dari sisi multifinance, Direktur Pengawasan Lembaga Pembiayaan OJK Yustianus Dapot mengungkap berdasarkan asesemen awal tahun terhadap beberapa pelaku industri, proyeksi penyaluran kredit modal kerja multifinance pada tahun ini setidaknya mampu tumbuh 11,1 persen ketimbang capaian 2020.
Sementara itu, statistik OJK terkait pinjaman dari Lembaga Keuangan Mikro dan koperasi mencakup konvensional maupun syariah, tercatat meningkat sepanjang periode 2020, dari Rp666,75 miliar menjadi Rp749,42 miliar.
Tuti Ermawati, Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2E LIPI), sepakat bahwa fakta di lapangan pun menunjukkan adanya kecenderungan pelaku usaha, terutama dari golongan milenial, lebih banyak mengajukan pinjaman modal dari sektor IKNB.
"Karena tren modal usaha di era pemulihan setelah pandemi, tergolong lebih bernilai kecil, untuk likuiditas saja, atau hanya untuk modal usaha sampingan saja, yang biasanya didominasi para karyawan muda. Jadi karena nilainya kecil, ke pembiayaan mikro atau IKNB saja sudah cukup," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (28/3/2021).
Tuti mengungkap apabila tipe milenial pelaku UMKM telah memiliki aset yang bisa digunakan sebagai agunan, maka perusahaan multifinance atau perusahaan pergadaian bakal jadi pilihan.
Adapun fintech P2P, lebih dipilih oleh pelaku UMKM yang butuh pembiayaan produktif secara praktis, cepat, dan mudah. Terutama, selama periode pandemi pada 2020 lalu, di mana nasabah bisa terlayani secara online atau hanya lewat platform digital.
"Walaupun fintech [P2P] dari sisi bunga atau biaya layanan lebih mahal, mereka belum terkalahkan dari sisi kecepatan dan fleksibilitas, karena sudah full digital. Tapi saya rasa, Pegadaian juga banyak dilirik karena layanan gadai digital mereka sudah tampak berjalan baik," tambahnya.
Terakhir, jangan lupakan LKM, BPR, rumpun koperasi, dan Lembaga pembiayaan mikro lainnya, yang kuat mencakup nasabah berbasis daerah sekitar.
Menurut Tuti, akses pinjaman dari para lembaga keuangan mikro ini bisa dipilih para milenial pelaku UMKM, karena persyaratannya tak seketat perbankan, dan punya kelebihan mampu memberikan kedekatan personal kepada nasabah.
Apalagi, ditambah kini telah banyak BPR dan koperasi yang sudah membuka diri menggandeng fintech P2P, untuk saling berkolaborasi mengakomodasi pelayanan pinjaman secara digital untuk para nasabahnya.
"Buat pelaku usaha pemula, ekosistem keuangan di daerah seperti koperasi atau BPR, itu memang bisa jadi teman berkembang. Bahkan, dari penelitian kami, pelaku yang sudah bankable pun masih kerap meminjam di lembaga keuangan mikro yang dulu sempat menolongnya waktu merintis usaha," kata Tuti.
Jadi, kinerja LKM ini kebanyakan memang tertolong oleh semacam 'balas budi' dari nasabah loyalnya," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel