E-Commerce Jadi Tulang Punggung Ekonomi Digital di Desa dan Kota Kecil Indonesia

Bisnis.com,01 Apr 2021, 20:51 WIB
Penulis: Aziz Rahardyan
Ilustrasi teknologi finansial/Flickr

Bisnis.com, JAKARTA - Situs belanja daring atau e-commerce diyakini akan menjadi tulang punggung ekonomi digital di kota-kota kecil dan pedesaan, karena pengaruhnya terhadap awareness masyarakat dan platform digital lain.

Hal tersebut terungkap dalam riset perusahaan modal ventura Alpha JWC Ventures bersama perusahaan konsultan manajemen global Kearney bertajuk 'Unlocking Next Wave of Digital Growth: Beyond Metropolitan Indonesia'.

Laporan ini berupaya memahami perbedaan kondisi adopsi digital dari warga 15 kota metropolitan (Tier 1), dengan 76 kota Rising Urbanites (Tier 2) seperti Semarang, Makassar, dan Denpasar, 101 kota/kabupaten sebagai Slow Adopters (Tier 3), dan 322 kota/kabupaten lain sebagai Rigid Watchers (Tier 4).

Shirley Santoso, Partner and President Director Kearney mengungkapkan setidaknya ada dua alasan, kenapa e-commerce harus menjadi garda terdepan memajukan ekonomi di kota Tier 2 dan Tier 3 yang tidak termasuk non-metropolitan.

Pertama, karena e-commerce merupakan platform digital yang paling mudah diterima dan dicoba oleh masyarakat awam (laggards) atau mereka yang telanjur 'ketinggalan zaman' terkait era teknologi.

"Buktinya, aktivitas digital dari platform e-commerce saja yang tercatat paling mudah diterima laggards di Tier 2 dan 3, yaitu mencapai 66 persen. Lainnya, sekaliber ride hailing dan food delivery saja, belum sampai menyentuh 50 persen," jelasnya dalam laporan yang dikutip Bisnis, Kamis (1/4/2021).

Secara terperinci, awareness dari platform ride hailing hanya 47 persen masyarakat awam dari Tier 2 dan 3, food delivery 41 persen, Ed-tech 30 persen, fintech payment 24 persen, fintech lending 11 persen, health-tech 5 persen.

Kedua, dengan penetrasi e-commerce yang mudah diterima warga awam dari kota kecil dan pedesaan Tanah Air, maka layanan digital lain yang berhubungan dengan 'belanja online' pun ikut terpengaruh, dan berpotensi untuk turut dijajal oleh para awam tersebut.

Contohnya, platform pembayaran digital atau payment, layanan pinjaman digital atau digital lending, serta platform penyedia layanan digital UMKM, seperti pembukuan arus kas, pergudangan, atau financial planning.

"Ini karena e-commerce punya supporting sectors, yang saling mendukung. Contoh, kalau e-commerce sudah masuk Tier 2 & 3, lending akan jadi mainstream dan bertumbuh, karena adanya demand paylater buat konsumen dan pinjaman modal buat para penjual. Logistik juga kecipratan berkah. Terakhir, transaksi digital payment pun bisa tumbuh subur di daerah tersebut karena masyarakatnya sudah terbiasa," jelasnya.

Oleh sebab itu, Shirley menjelaskan setidaknya investasi sektor TI dari banyak stakeholder kepada kota Tier 2 dan 3 perlu terus digenjot untuk mengatasi ketimpangan adopsi digital, terutama untuk memudahkan e-commerce masuk ke sana.

Enam kuncinya, yaitu infrastruktur fisik, digital dan regulasi, ditambah edukasi konsumen, pengembangan SDM, dan mempermudah akses permodalan buat para pelaku usaha. Hal ini terutama tercermin dalam temuan perbedaan prioritas konsumen di Pulau Jawa dan di luar Jawa.

Masyarakat awam dan early adopters di Jawa sudah lebih mementingkan kemudahan penggunaan, harga, promosi, dan ketersediaan barang. Namun, konsumen di luar Jawa masih memperhatikan keamanan, keamanan, bahkan akses pengiriman pun masih menjadi kendala utama.

"Tiap daerah memiliki hambatan adopsi yang berbeda. Non-Jawa masih butuh 'basics-right' dan masih berkutat pada masalah berbasis infra. Sedangkan masyarakat di Jawa, lebih sensitif terhadap harga. Artinya, pendekatan yang berbeda tetapi terfokus, penting untuk memajukan adopsi digital di kota Tier 2 dan Tier 3," tutupnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Ropesta Sitorus
Terkini