Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan atau OJK telah memberlakukan aturan terkait manajamen risiko dalam penggunaan teknologi informasi oleh industri keuangan non-bank yang mencakup sejumlah aspek. Aturan itu berlaku salah satunya untuk mencegah risiko rush saat terjadi bencana.
POJK 4/2021 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Lembaga Jasa Keangan Non Bank telah berlaku sejak 17 Maret 2021, setelah ditetapkan oleh Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dan diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly.
Beleid itu berlaku bagi seluruh sektor industri keuangan non bank (IKNB), mulai dari asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, pergadaian, lembaga penjamin, fintech peer-to-peer lending, lembaga pembiayaan ekspor, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, hingga Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan Ketenagakerjaan.
Kepala Departemen Pengawasan IKNB 1A OJK Dewi Astuti menjelaskan bahwa penggunaan teknologi digital sudah menjadi keniscayaan bagi lembaga jasa keuangan, baik perbankan, pasar modal, maupun IKNB. Namun, setiap jenis lembaga jasa keuangan memiliki karakteristik yang berbeda sehingga aturan yang ada harus disesuaikan.
Dewi mencontohkan bahwa pengaturan penggunaan teknologi informasi di sektor perbankan relatif lebih homogen, yakni diberlakukan bagi seluruh bank dengan seragam. Perbedaan yang ada menurutnya ada bagi bank syariah dan bank perkreditan rakyat (BPR), meskipun secara prinsip sudah seragam.
Di sisi lain, pengaturan bagi IKNB yang terdiri dari sepuluh subjek memiliki kompleksitas tinggi karena kondisi setiap sektor berbeda-beda. Hal tersebut mendasari OJK menerbitkan POJK 4/2021 agar penerapan teknologi informasi di semua sektor dapat berjalan optimal sesuai kondisinya masing-masing.
"Kalau semua dipaksakan wajib mempunyai teknologi informasi dengan standar yang sama, tidak baik, pelaku IKNB ini sangat bervariasi. Misalnya dana pensiun, kalau dipaksakan punya manajemen risiko sendiri akan berat, oleh karena itu diperkenankan menggunakan sistem teknologi informasi dari pendirinya," ujar Dewi pada Rabu (7/4/2021).
Salah satu poin pengaturan dalam POJK 4/2021 adalah keberadaan komite pengawas teknologi informasi dan penempatan sistem elektronik dari pusat data dan/atau pusat pemulihan bencana di wilayah Indonesia. Menurut Dewi, poin itu berkaitan dengan keamanan dan kedigdayaan data.
"Jika terjadi bencana dan sistem elektronik data dari lembaga jasa keuangan terganggu, dikhawatirkan terjadi rush penarikan [dana] di tengah bencana. Itu dicegah dengan POJK 4/2021," ujar Dewi.
Adapun, Wimboh menjelaskan bahwa aturan itu terbit mengingat perkembangan teknologi informasi (TI) yang sangat cepat tetapi di satu sisi bersifat disruptif. Sektor IKNB pun didorong untuk meningkatkan penggunaan TI agar menggenjot produktivitas dan bisnisnya.
Di sisi lain, penggunaan TI memiliki potensi risiko yang dapat merugikan perusahaan terkait dan konsumennya. Oleh karena itu, IKNB harus dapat menerapkan manajemen risiko yang memadai dalam penggunaan TI dengan mengedepankan manajemen risiko dalam penggunaan teknologi informasi (MRTI).
"Hingga saat ini belum seluruh jenis LJKNB memiliki pengaturan mengenai MRTI, sementara pengaturan yang ada bagi beberapa jenis LJKNB memiliki cakupan pengaturan yang terbatas. Oleh sebab itu perlu adanya pengaturan mengenai penerapan MRTI bagi LJKNB secara komprehensif untuk seluruh LJKNB dalam satu POJK," tulis Wimboh dalam ringkasan POJK 4/2021 yang dipublikasikan pada Senin (22/3/2021).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel