Kehilangan Pasangan Bisa Tingkatkan Risiko Sindrom "Patah Hati"

Bisnis.com,12 Apr 2021, 20:29 WIB
Penulis: Laurensia Felise
Ilustrasi/Imgbuddy

Bisnis.com, JAKARTA - Momen kematian Pangeran Phillip pada pekan lalu memberikan dampak yang cukup besar di seluruh dunia, terutama Ratu Elizabeth II selaku istri mendiang. Kematiannya hanya berselisih dua bulan sebelum perayaan ulang tahunnya yang ke-100.

Melansir dari CNN, Senin (12/04/2021), hubungan antara Pangeran Phillip dan Ratu Elizabeth kedua dideskripsikan sebagai hubungan yang sangat erat dan penuh cinta. Bahkan sang Ratu mendeskripsikan suaminya sebagai orang yang simpel dan telah menjadi kekuatannya serta alasannya bertahan selama bertahun-tahun.

Setelah kematian dari suaminya yang ia sebut sebagai "cinta dan pertolongan yang tetap," beberapa orang kali ini memperhatikan kesehatan diri dari Ratu Elizabeth II. Hal ini dikarenakan kematian seorang yang dicintai bisa terjadi kapan saja, tetapi kehilangan pasangan yang telah bersama sejak bertahun-tahun bisa menjadi hal yang sulit.

Beberapa studi menunjukkan bahwa suami atau istri yang masih hidup, ketika ditinggal meninggal oleh pasangannya, bisa mengalami gangguan tidur, beberapa fase depresi, kecemasan, gangguan fungsi imun tubuh, dan kesehatan fisik yang melemah.

Penyakit yang kemudian disebut sebagai kardiomiopati atau sindrom "patah hati" merupakan penyakit yang benar-benar ada dalam catatan medis dan termasuk penyakit yang disebabkan karena faktor stres.

Penyakit ini terjadi dengan kondisi jantung yang tiba-tiba mengambil jeda, stres akut, dan lemahnya bagian ventrikel (kamar jantung) sebelah kiri. Tetapi lemahnya fungsi pada bagian ini menciptakan bentuk jantung yang lebih bulat dan berbentuk layaknya pot bunga.

Pertama kali muncul pada tahun 1990 di Jepang, patah hati dideskripsikan sangat mirip seperti perangkap gurita Jepang bernama takotsubo. Dokter di sana kemudian menyebutnya sebagai kardiomiopati Takotsubo.

"Jantung sebenarnya berubah bentuk sebagai respon dari gangguan emosional yang akut, seperti patah hati dari sebuah hubungan atau kematian orang-orang yang ia cintai. Tetapi saya pernah memiliki pasien yang mengalami gagal jantung kongestif akut, aritmia yang membahayakan nyawa, bahkan kematian karena kondisi ini," jelas kardiologis asal New York Dr. Sandeep Jauhar.

Ia menambahkan bahwa dalam sebagian besar kasus, jantung akan kembali ke bentuk normal dan pulih ketika stres emosional akut telah hilang.

Sindrom ini paling umum terjadi pada perempuan (setidaknya 90% kasus dialami perempuan), dengan riwayat penyakit syaraf seperti kejang dan riwayat penyakit mental.

Sindrom "Efek Janda"

Selain sindrom "patah hati," ada pun risiko lain yang bisa dihadapi oleh suami atau istri yang ditinggal pasangan adalah "efek janda."

"Peningkatan kemungkinan untuk seorang yang baru saja menjadi janda, biasanya disebut 'efek janda', merupakan salah satu dari contoh terbaik yang didokumentasikan sebagai efek dari hubungan sosial terhadap kesehatan," tulis Dr. Nicholas Christakis dari Laboratorium Alam Manusia di Universitas Yale dan Felix Elwert dari Jurusan Sosiologi di Universitas Wisconsin yang menulis sebuah penelitian pada 2008.

Mereka menulis bahwa risiko seorang laki-laki atau perempuan tua yang meninggal karena berbagai alasan meningkat antara 30%-90% dalam tiga bulan pertama setelah kematian pasangannya. Angka ini kemudian turun sekitar 15% di beberapa bulan berikutnya. Efek janda ini telah direkam dari berbagai usia dan ras di seluruh dunia.

Tidak hanya itu, penelitian mereka melibatkan sampel representatif sebanyak 373.189 pasangan usia tua di Amerika Serikat antara 1993 hingga 2002. Hasilnya ditemukan bahwa masa janda tidak bisa meningkatkan secara seragam risiko dari semua penyebab kematian.

Studi mereka juga menemukan ketika seorang pasangan meninggal secara mendadak, misalnya karena kecelakaan atau insiden, tingkat kematian dari pasangan yang masih hidup meningkat. Hal yang sama juga berlaku untuk risiko penyakit kronis seperti diabetes dan kanker paru-paru yang membutuhkan penanganan dan pencegahan yang penuh kehati-hatian.

Tetapi, jika ada laki-laki atau perempuan tua yang meninggal karena penyakit Alzheimer atau Parkinson, maka tidak ada dampak pada kesehatan pasangannya. Hal ini mungkin disebabkan karena mereka memiliki waktu untuk mempersiapkan kehilangan pasangannya.

Terlepas dari itu, Christakis dan Elwert menulis bahwa kematian seorang pasangan dengan alasan apapun merupakan ancaman yang membahayakan bagi kesehatan dan bisa menimbulkan risiko kematian substansial dengan alasan apa pun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Mia Chitra Dinisari
Terkini