Pinjol Ilegal Tumbuh Subur di Indonesia, Apa Penyebabnya?

Bisnis.com,13 Apr 2021, 20:00 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Ilustrasi utang/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA — Terus menjamurnya entitas fintech peer-to-peer lending atau pinjaman online ilegal dipengaruhi oleh sejumlah alasan, mulai dari masalah literasi keuangan yang rendah hingga kecenderungan perilaku yang kurang bijak dalam mencari keuntungan.

Anggota Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Tirta Segara menjelaskan bahwa pinjaman online (pinjol) ilegal kian menjamur dan meresahkan masyarakat. Upaya penindakan terhadap entitas ilegal pun terus dilakukan otoritas bersama Satgas Waspada Investasi (SWI).

Dia menjabarkan bahwa sepanjang 2020, OJK bersama SWI telah menutup lebih dari 1.200 entitas pinjol ilegal. Meskipun penindakan telah dilakukan dalam beberapa tahun, aplikasi-aplikasi pinjol tetap terus bermunculan.

"Dalam satu tahun menutup lebih dari 1.200 fintech ilegal, artinya dalam satu hari bisa tiga sampai empat yang ditutup, tapi masih saja bermunculan. Meskipun pada periode sebelumnya sudah banyak korban, bahkan jumlah kerugiannya sangat besar, [penyebaran pinjol ilegal] tetap terjadi," ujar Tirta pada Selasa (13/4/2021).

Berdasarkan analisa dari berbagai penindakan dan layanan pengaduan, OJK menilai terdapat tiga alasan utama penyebab pinjol ilegal tetap menjamur. Pertama, tingkat literasi keuangan masyarakat masih rendah, sehingga pemahaman terhadap investasi dan keuangan belum cukup baik.

Tirta menjelaskan bahwa berdasarkan survei OJK pada 2019, tingkat literasi keuangan masyarakat hanya sebesar 38 persen, padahal tingkat inklusi keuangan sudah mencapai 76 persen. Artinya, masyarakat dapat mengakses berbagai layanan jasa keuangan tetapi pengetahuan terkait keuangan masih minim.

"Mereka umumnya tidak memahami beberapa konsep, yaitu underlying investasi, uang mereka sebetulnya diinvestasikan di mana. Banyak yang tidak paham dengan konsep compund interest atau bunga majemuk, tidak paham antara korelasi risiko dengan imbal hasil atau high risk high return. Dengan mengesampingkan prinsip-prinsip tadi, masyarakat seringkali terbuai dengan imbal hasil tinggi," ujarnya.

Kedua, banyaknya pihak yang mengambil kesempatan dengan menyalahgunakan kemajuan teknologi, salah satunya dengan mengembangkan pinjol ilegal. Menurut Tirta, entitas-entitas itu dapat membuat replikasi situs atau penawaran investasi dengan sangat menarik, bahkan kerap menampilkan influencer untuk meyakinkan masyarakat.

Terlebih, menurutnya, entitas-entitas itu tidak memiliki kantor fisik dan server dari sistemnya berada di luar negeri. Hal tersebut menjadi masalah tersendiri karena penindakan hukum menjadi sulit dilakukan.

"Beberapa modus yang kami temukan, mereka yang abal-abal hanya sewa satu ruko tapi lingkup operasinya bisa sangat luas, di berbagai daerah. Bahkan jika penawaran investasi ilegal itu [sebelumnya] hanya dilakukan di lingkungan sekitar, tapi dengan digital bisa dilakukan lintas batas," ujar Tirta.

Ketiga, adanya kecenderungan sekelompok masyarakat yang kurang bijak dalam menggunakan layanan jasa keuangan. Tirta bahkan menyebutnya sebagai hasrat untuk cepat kaya atau memperoleh keuntungan besar tanpa melalui kerja keras atau upaya yang masuk akal.

Tirta Segara/Antara

Menurutnya, OJK kerap menemukan bahwa korban pinjol dan investasi ilegal bukan hanya masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, tetapi juga mereka yang memiliki literasi baik. Selain itu, masyarakat pun kerap kurang bijak saat mengajukan pinjaman, di luar batas kemampuannya tetapi diangap mudah untuk diselesaikan.

"Banyak kasus pengaduan fintech ilegal yang berujung mereka minta dibantu dicarikan jalan keluarnya kepada OJK, karena tidak mampu membayar utangnya. Setelah kami telusuri lebih dalam, ternyata mereka meminjam kepada lebih dari 10 fintech sekaligus, bahkan kami menemukan beberapa kasus konsumen yang dalam seminggu meminjam lebih dari 40 fintech," ujar Tirta.

Adapun, Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sardjito menjelaskan bahwa pada kurun Januari 2020 hingga November 2020, jumlah aduan terkait pinjol ilegal berkisar 416–2.715 layanan. Namun, jumlahnya melonjak drastis pada Desember 2020 menjadi 6.787 layanan.

Pada Januari 2021, pengaduan terkait pinjol ilegal tercatat sebanyak 2.274 layanan. Jumlahnya terus bertambah, yakni pada Februari 2021 menjadi 3.673 layanan dan Maret 2021 mencapai 5.421 atau mendekati capaian tertinggi pada Desember 2020.

Sementara itu, masalah terbesar yang menjadi sumber keluhan konsumen adalah perilaku debt collector dari pinjol-pinjol ilegal tersebut, yang diketahui kerap melakukan penagihan dengan menyebarkan data pribadi atau mengganggu kontak-kontak terkait. Terdapat 15.098 layanan terkait aduan tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini