Bisnis.com, JAKARTA - Tingkat penetrasi digital banking generasi muda Tanah Air baru mencapai sekitar 30 persen. Mereka masih memilih rekening bank konvensional sebesar 79 persen.
Demikian hasil survei RB Consulting, Research & Business Consulting bekerja sama dengan Infinity CXT dan Essensight Qualitative Agency, baik online maupun wawancara tatap muka mendalam kepada 200 laki-laki dan perempuan Gen Z (18-24 tahun) dan Gen Y (25-30 tahun) pada 20-24 Maret 2021.
Digital banking yang merupakan bentuk digitalisasi dari semua aktivitas dan layanan perbankan konvensional, masih diyakini hanya sebatas mobile banking yaitu layanan yang memungkinkan nasabah bank melakukan transaksi perbankan melalui ponsel atau smartphone menggunakan menu yang sudah tersedia melalui aplikasi yang dapat diunduh oleh nasabah.
Dengan demikian, e-wallet yang digemari (60 persen) mereka itu dianggap sudah sebagai digital banking.
“Generasi muda ini awalnya membuka rekening bank digital karena penawaran perbankan yang menarik, seperti gratis biaya bulanan, gratis biaya transfer dan lainnya, lalu setelah mulai memanfaatkannya, baru mereka menyukai teknologi tingginya lebih dari perbankan konvensional,” kata Iwan Murty, CEO RB Consulting, dalam keterangan tertulis, Rabu (14/4/2021).
Sebagai catatan, lanjutnya, Generasi X (usia lebih tua dari Generasi Y dan Z), memilih digital banking karena alasan kepraktisan ketimbang alasan teknologinya.
Ketika generasi muda ini ditawari untuk membuka rekening bank digital berikutnya atau tambahan, mereka akan mempertimbangkan reputasi bank ketimbang canggihnya teknologi atau aplikasi-aplikasinya. Menurut mereka, reputasi yang baik akan memberikan ketenangan dan jaminan risiko.
Adapun pertimbangan antara UI/UX dan penawaran produk perbankan, hampir sama bobotnya. Penawaran produk perbankan yang menarik membuat mereka mau mengunduh aplikasi digital banking, sedangkan UI/UX membuat mereka terus memakai aplikasi digital banking tersebut.
Dari mereka yang memiliki beberapa rekening bank digital dari bank berbeda, secara keseluruhan tingkat kepuasan akan digital banking belum terlalu tinggi. Boleh dibilang tidak ada satu bank penyedia digital banking yang memiliki tingkat kepuasan nasabah rata-rata yang tinggi.
Dari skala kepuasan 1 sampai 5 (di mana 5 sama dengan sangat puas), tingkat rata-rata kepuasan generasi muda yang memiliki digital banking di bawah 4 atau hanya 64 persen yang merasa puas sampai sangat puas.
Alasannya antara lain penawaran yang dijanjikan pertama kali yang membuat mereka tertarik tidak dilanjutkan, masalah dengan aplikasinya yang sering lagging/buffering dan suka mati sendiri, UI/UX yang tidak bersahabat dan menyulitkan pemakainya
“Dari mereka yang tidak melakukan digital bank sekarang ini, hanya sekitar 60 persen yang mengatakan tertarik untuk membuka rekening bank digital, sedangkan sekitar 1 dari 10, mengatakan tidak tertarik sama sekali,” ungkap Iwan.
Bagi mereka yang tidak tertarik untuk buka rekening bank digital, alasan utamanya adalah kekhawatiran akan keamanan teknologinya (takut di-hack) dan masih menyukai cara konvensional (memiliki buku tabungan secara fisik dan masih bisa berinteraksi dengan teller di kantor bank).
“Secara keseluruhan tingkat kepemilikan rekening bank digital oleh generasi muda baru mencapai kurang dari sepertiga. Hal ini menunjukkan kesempatan pasar yang masih sangat besar tetapi perlu pemahaman untuk mampu menarik minat mereka,” tegas Iwan.
Di saat pemerintah Indonesia juga berbenah diri untuk menyambut dan mengatur perbankan digital, saatnya edukasi digital banking dimulai dari usia dini anak sekolah, menjelaskan keuntungannya memiliki rekening bank digital, di luar promosi gratis dan kemudahannya.
Bagi pelaku industri perbankan, pahami kebutuhan calon nasabah generasi muda untuk menciptakan relevansi, pelajari pemain yang sekarang ada untuk membuat differensiasi dan tawarkan aplikasi dengan UI/UX yang sesuai selera agar dapat memperbaiki tingkat kepuasan nasabah.
Jika disimak produk apa saja yang mereka miliki, menurut Iwan, tabel di bawah ini dapat menjelaskan bahwa pinjol atau pinjaman online diminati 1 dari 5 orang (20 persen) dari generasi muda ini, diikuti dengan asuransi (19 persen) dan kartu kredit (18 persen).
Pinjaman online: untuk Generasi Y, pertimbangannya mereka memilih pinjaman online karena mereka mempunyai pendapatan rutin dari bekerja untuk bisa menyicil.
Asuransi: mereka yang memiliki asuransi, kebanyakan memiliki BPJS karena mereka sudah bekerja. Generasi ini lebih memilih asuransi kesehatan ketimbang asuransi jiwa. Demikian pula bagi mereka yang baru berpikir untuk membeli asuransi, kecenderungannya akan membeli asuransi kesehatan dibandingkan asuransi jiwa. Alasannya di usia mereka, asuransi kesehatan lebih penting masih bisa merasakan manfaatnya sendiri kalau mereka sakit.
Adapun, kalau asuransi jiwa, hanya memberikan santunan kepada ahli waris dan kalau mereka meninggal pada usia ini, mereka tidak bisa merasakan manfaatnya sementara mereka pun masih belum menikah (tidak punya ahli waris).
Kartu kredit: kartu kredit cenderung dimiliki oleh mereka dari kelas atas dengan perbedaan yang signifikan (24 persen kelas atas vs 6 persen kelas menengah). Adapun antara kelompok umur, kepemilikan kartu kredit sangat tinggi di umur 25 – 30 tahun (27 persen) dibandingkan yang muda berusia 18 – 24 (9 persen).
Selain karena penghasilan mereka yang lebih muda belum mencukupi batas kepemilikan kartu kredit, generasi yang muda ini tidak begitu ingin memiliki kartu kredit. Alasannya antara lain karena ingin menghindari pengeluaran konsumtif karena kemudahan memakai kartu kredit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel