Polemik Vaksin Nusantara, Ini Pentingnya EBM Dalam Penelitian

Bisnis.com,16 Apr 2021, 16:50 WIB
Penulis: Aprianus Doni Tolok
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari Fahrial Syam-fk.ui.ac.id

Bisnis.com, JAKARTA - Akademisi dan praktisi klinik Ari Fahrial Syam menekankan pentingnya basis bukti atau evidence based medicine (EBM) dalam praktik klinik kedokteran.

EBM ini pun menjadi modul yang wajib diberikan kepada mahasiswa kedokteran.

“Selama pendidikan, mahasiswa mendapatkan modul pendidikan mengenai EBM. Mahasiswa juga mempraktikkan dan mendapatkan tugas bagaimana menyusun EBM,” ujarnya dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Jumat (16/4/2021).

Menurutnya, setelah mahasiswa bekerja sebagai dokter, konsep EBM terus melekat pada diri mahasiswa sebagai seorang praktisi klinis.

Namun, mereka tetap mandiri dalam menentukan pilihan pemeriksaan pendukung, membuat diagnosis atau keputusan terapi tetapi tentu berdasarkan EBM yang ada.

Artinya, ada aturan yang tetap harus dipatuhi dalam berinovasi atau mengembangkan sesuatu di bidang medis atau klinis.

“Jika berencana melakukan penelitian atau membuat inovasi baru untuk penunjang diagnosis atau terapi tentu Anda harus melalui proses penelitian atau uji klinis,” katanya.

EBM adalah suatu alat atau pemahaman yang menjadi dasar dari kegiatan tata laksana praktik kedokteran pada setiap penerapan tata laksana kedokteran terhadap pasien dan komunitas harus berlandaskan pada bukti ilmiah yang sahih dan mutakhir.

Ari yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam (gastroenterologi) dari RSCM-FKUI ini menambahkan, sebelum memulai proses penelitian maka proposal harus lolos komite etik terlebih dahulu.

“Setelah proposal kita lolos kaji etik atau ethical clearance, maka barulah kita melakukan penelitian,” imbuhnya.

Pernyataan Ari tersebut disampaikan dalam kaitannya dengan polemik pengembangan Vaksin Nusantara.

Seperti diberitakan sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dinilai sejumlah pihak menghambat pengembangan Vaksin Nusantara, karena belum memberi izin kepada para peneliti untuk melakukan uji klinis fase kedua. Namun, yang kini terjadi sejumlah anggota DPR RI menjadi relawan uji klinis fase II, padahal belum mengantongi izin dari BPOM.

Ketua Satuan Tugas Covid-19 Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Zubairi Djoerban pun mempertanyakan hal tersebut dan menilainya sebagai sebuah keganjilan. Menurutnya, tidak ada hal yang lebih penting selain EBM. 

“Kalau uji klinis fase dua ini dilakukan tanpa izin BPOM, rasanya seperti memaksakan ya. Semoga hal ini bisa dibicarakan dengan baik oleh BPOM dan pihak Vaksin Nusantara. Amin," ujarnya melalui akun Twitter pribadinya beberapa waktu lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Nancy Junita
Terkini