Bisnis.com, JAKARTA – Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya menyebutkan ada tiga masalah utama yang dihadapi PT Asuransi Jiwasraya (Persero), sehingga membuat kinerja perusahaan memburuk dan akhirnya perlu direstrukturisasi.
R. Mahelan Prabantarikso, Koordinator Juru Bicara Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya, mengatakan bahwa permasalah Jiwasraya meliputi masalah fundamental, kurangnya GCG, dan tekanan likuiditas dari produk saving plan. Hal itu kemudian terakumulasi dan membuat Jiwasraya kesulitan.
“Jiwasraya gagal bayar, solvabilitas dan likuiditas itu mereka tidak sanggup membayar sebagaimana, atau mungkin mengembalikan manfaat yang dijanjikan kepada pemegang polis,” katanya saat menjadi pembicara Dialog Bisnis, Penerapan Good Corporate Governance di Industri Asuransi yang diselenggarakan Bisnis Indonesia, Selasa (27/4/2021).
Mahelan melanjutkan, ketika itu terdapat masalah solvabilitas dan likuiditas yang terjadi sejak lama dan tidak diselesaikan dengan solusi yang tepat.
Perusahaan justru melakukan window dressing laporan keuangan untuk menyelesaikan masalah solvabilitas, dan mengeluarkan produk asuransi investasi bergaransi bunga tinggi untuk mengatasi likuiditas.
Kondisi itu diperparah dengan lemahnya praktik GCG, di mana tidak ada portofolio guideline yang mengatur investasi maksimum pada high-risk asset. Permasalahan ketiga, adalah tekanan pada produk saving plan yang menjanjikan 9% hingga 14% saat itu.
“Saat itu kalau kita mau investasi di perbankan, rata-rata pada posisi 8% atau 9%. Ini suatu hal yang kami sampaikan posisi yang ada, sehingga Jiwasraya mengumumkan gagal bayar,” jelasnya.
Untuk menyelesaikan permasalahan Jiwasraya itu, pemerintah selaku pemegang saham membentuk Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya. Tim tersebut lintas unit, seperti dari Kementerian BUMN, unsur Jiwasraya, dan dari IFG Life sebagai calon induk perusahaan.
Tugas Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya itu ialah meminimalisir masalah yang ada, dan menyelamatkan polis Jiwasraya yang harus diselesaikan.
Beberapa langkah sudah dilakukan untuk memenuhi janji sebagian, seperti menerbitkan REPO, menjual aset dan mengembalikan kepada pemegang polis saat itu.
“Namun, lambat laun posisi itu tidak memungkinkan untuk berdarah terus karena negatif ekuiti yang cukup besar. Liabilities Rp58,7 triliun, sementara aset sekitar Rp13 triliun sampai Rp14 triliun, sehingga terjadi negatif Rp38,7 triliun,” paparnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel