Bisnis.com, JAKARTA — Pada awal 2020, saat masyarakat Indonesia dan dunia dihebohkan oleh terpaan pandemi Covid-19, publik Indonesia juga dikejutkan oleh jebolnya finansial dari sebuah perusahaan asuransi yang sangat legendaris, yaitu PT Jiwasraya (Persero).
Legendaris, sebab Jiwasraya adalah perusahaan asuransi tertua di negeri ini, dilahirkan pada 31 Desember 1859, atau sudah berusia 161 tahun. Apalagi Jiwasraya adalah perusahaan asuransi milik negara (BUMN).
Gila! Perusahaan asuransi setua ini dibangkrutkan hanya karena salah urus dan digerogoti oleh tikus tikus yang bercokol di tubuh manajemen Jiwasraya. Sangat pantas jika para pelakunya divonis dengan hukuman berat (seumur hidup) dan atau denda pidana yang mencapai triliunan rupiah.
Dalam konteks perlindungan konsumen, mega skandal Jiwasraya adalah klimaks dari persoalan yang selama ini dialami oleh konsumen sebagai nasabah dari suatu perusahaan asuransi. Jika merujuk pada data pengaduan di Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), maka selama tiga tahun terakhir pengaduan komoditas asuransi memang sangat tinggi. Bahkan pada 2020 pengaduannya tertinggi dibandingkan dengan produk jasa finansial lainnya, seperti perbankan dan leasing.
Mega skandal Jiwasraya, benar benar membuat publik dan nasabahnya meradang. Bukan hanya besarnya gagal bayar yang mencapai Rp27,5 triliun, tetapi berkelindan dengan tindakan korupsi, kolusi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Konsumen jelas meradang hingga ke ubun-ubun, sebab sejatinya Jiwasraya sebagai korporasi telah bangkrut, karena beban yang harus dibayarnya mencapai lebih dari Rp50 triliun, sedangkan nilai asetnya yang tersisa hanya mencapai Rp15 triliun saja. Oleh karenanya, upaya gugatan pailit oleh sebagian konsumen kepada Jiwasraya nyaris tidak akan menghasilkan kompensasi yang setara bagi konsumen.
Apalagi dalam konteks UU Pailit, konsumen adalah pihak paling akhir yang harus diberesi oleh perusahaan yang dinyatakan pailit itu. Walhasil, dengan nilai aset yang hanya Rp15 triliun (itu pun aset yang nonlikuid) dan beban yang harus dibayar mencapai Rp50 triliun, maka gugatan pailit (jika dikabulkan) justru akan menjadi bumerang bagi konsumen.
Sayangnya, ditengah sengkarut yang begini keras, negara seperti tidak bisa berbuat banyak. Boleh jadi aspek penegakan hukum pidananya cukup memuaskan, sebab aktor aktor utamanya telah dicokok dan divonis dengan hukuman seumur hidup dan pidana denda yang menjerakan pelakunya (detterent effect).
Akan tetapi siapakah gerangan yang menanggung dan mengembalikan hak-hak keperdataan konsumen sebagai nasabah Jiwasraya? Pada titik ini semula mengalami jalan buntu. Secara finansial empirik korporasi Jiwasraya nyaris telah bangkrut, ibarat ayam disembelih pun tak keluar darahnya.
Disaat kegalauan dan kemarahan konsumen makin meninggi, tetiba negara menyeruak hadir dengan program restrukturisasi bagi nasabah Jiwasraya. Negara, via Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan menginisiasi untuk menyelamatkan hak hak nasabah Jiwasraya dengan program restrukturisasi, yang ditetapkan via SKB Menkeu dan Menteri BUMN No. 143/MBU/05/2020 dan No. 227/KMK.06/2020.
Baca Juga : Jiwasraya: Kasus Kami Jadi Pembelajaran Penting |
---|
Melalui program ini, portofolio nasabah Jiwasraya dialihkan dan dikelola oleh BUMN holding bidang asuransi, yakni IFG Life. Dalam hal ini, pemerintah menggelontorkan dana PMN (Penyertaan Modal Negara) sebesar Rp22 triliun-an.
Jurus restrukturisasi diluncurkan bukan tanpa dasar hukum, tetapi mengacu pada regulasi yang ada. Selain dengan SKB, juga mengacu pada Peraturan OJK (POJK) No. 71 Tahun 2006 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi. Mengacu pada Pasal 54 POJK menyebutkan bahwa OJK dapat memerintahkan kepada perusahaan untuk melakukan pemindahan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan kepada perusahaan lain, ketika perusahaan tidak dapat memenuhi tingkat solvabilitas.
Terlepas pada niat baik pemerintah dan atau mengacu pada regulasi yang ada, pertanyaanya, apakah program restrukturisasi ini merupakan jurus yang ideal untuk menyelematkan hak-hak nasabah Jiwasraya?
Dalam perspektif konsumen, tentu saja program restrukturisasi memang solusi ideal. Oleh karena itu, sangat wajar jika, semula mayoritas nasabah Jiwasraya menolak skema penyelamatan ini. Sekelompok konsumen bahkan telah melakukan beberapa gugatan via Pengadilan Negeri setempat dan atau gugatan PTUN, meminta agar program restrukturisasi dibatalkan.
Dari perspektif konsumen, skema restrukturisasi memang mengantongi beberapa kelemahan mendasar, yaitu, pertama, tidak ada pembayan tunai bagi konsumen sebagai pemegang polis. Konsumen harus menunggu minimal 3-15 tahun untuk bisa mencairkan haknya, sekalipun pada nasabah yang telah jatuh tempo. Selain itu, kedua, selama nasabah berkontrak dengan IFG Life, kontrak tersebut tidak bisa dibatalkan, kecuali nasabah meninggal dunia. Kemudian belum lagi sederet kelemahan lain tentunya.
Benar dari sisi konsep program restrukturisasi bukanlah solusi ideal untuk menyelamatkan hak-hak nasabah Jiwasraya. Namun secara empirik program restrukturisasi menjadi instrumen yang paling rasional untuk menyelamatkan hak-hak nasabah Jiwasraya.
Setidaknya, selain mengantongi beberapa kelemahan, menurut klaim tim penyelamat Jiwasraya, program restrukturisasi juga mengantongi beberapa “nilai plus”, antara lain: status manfaat akan berlanjut dengan polis dan bunga baru yang disesuaikan secara fair, nilai pengembalian manfaat akan dihitung berdasarkan nilai tunai (pokok dan bunga) ditambah dengan proteksi, akan ada kejelasan waktu mengenai pengembalian manfaat mengacu dengan persetujuan polis yang baru. Ditambah lagi dengan restrukturisasi bisa menghindari pemegang polis dan pemerintah dari risiko kepailitan perusahaan, yang jika perusahaan dinyatakan pailit, maka pengembalian dana nasabah akan lebih kecil dan tidak jelas waktu pengembaliannya.
Pada akhirnya, dengan sederet kekurangan dan sederet pula kelebihannya itu, program restrukturisasi hanyalah upaya terbaik dari yang terburuk yang bisa dilakukan negara, untuk menyelamatkan hak hak nasabah Jiwasraya. Patut diapresiasi jika saat ini mayoritas nasabah Jiwasraya telah mengikuti program restrukturisasi.
Data per Mei 2021, menurut Tim Percepatan Restrukturisasi Jiwasraya, 95 persen pemegang polis kategori Bancassurance telah mengikuti program restrukturisasi, kategori korporat mencapai 91,7 persen, dan kategori ritel mencapai 81,1 persen. Tanpa program restrukturisasi nasib nasabah Jiwasraya boleh jadi akan lebih buruk.
Namun demikian program restrukturisasi ini tidak akan mampu menjadi “upaya penebus dosa” atas kegagalan negara dalam melakukan pengawasan performa perusahaan asuransi, yang notabene dimiliki oleh negara dan sudah berusia ratusan tahun pula. Kita semua harus mengawal ketat program restrukturisasi ini, jangan sampai nasib konsumen bak sebuah pepatah: keluar dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya.
Ke depan sektor asuransi harus mempunyai Lembaga Penjamin Asuransi, sebagaimana sektor perbankan mempunyai LPS (Lembaga Penjamin Simpanan). Dengan demikian jika ada perusahaan asuransi yang collapse seperti Jiwasraya, maka nasib konsumen tidak tergilas karenanya.
Dalam konteks yang lebih komprehensif, masih ada sederet pekerjaan rumah yang secara fundamental harus dilakukan oleh OJK dan pemerintah untuk membereskan dan menyehatkan industri asuransi. Selain itu, memberikan jaminan keamanan dan perlindungan secara hakiki pada konsumen atau nasabah asuransi agar dikemudian hari tidak ada replikasi kasus sebagaimana mega skandal Jiwasraya tersebut.
Pada akhirnya, mega skandal Jiwasraya adalah preseden paling buruk bagi sektor industri asuransi di tanah air, dan jika tidak ada upaya komprehensif untuk menyelamatkannya, hanya akan menciptakan public distrust pada industri asuransi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel