Bisnis.com, JAKARTA - Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) periode Mei 2021 mempertahankan suku bunga acuan, 7-day reverse repo rate tetap pada level 3,5%.
Posisi suku bunga acuan terendah sepanjang sejarah BI itu sudah bertahan selama empat bulan sejak dipangkas terakhir kali pada Februari lalu. Kebijakan menahan suku bunga acuan tersebut sesuai dengan ekspektasi.
Di lingkup internal, misalnya, inflasi per April tetap rendah, yakni 0,13% secara bulanan. Inflasi tahun berjalan dan inflasi tahunan yang masing-masing 0,58% dan 1,42% pun berada jauh di bawah sasaran 3% plus/minus 1%. Posisi status quo 7-day reverse repo rate juga menjadi ikhtiar BI untuk mempercepat pemulihan ekonomi domestik.
Indikator pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2021 juga bergerak ke arah positif. Kendati masih berada di zona minus, pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut jauh lebih baik dibandingkan dengan tiga kuartal terakhir pada 2020. Intinya, proses pemulihan ekonomi nasional berada dalam koridor yang benar.
Trek pemulihan ekonomi yang lapang memunculkan rasa percaya tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri. Selama sebulan terakhir, arus modal asing yang masuk ke pasar finansial domestik mencapai US$6,43 miliar, naik dari US$5,37 miliar pada pertengahan April 2021. Imbasnya, cadangan valuta asing mencapai rekor tertinggi US$138,8 miliar per April 2021. Indikator lain, seperti nilai tukar rupiah, juga relatif masih terkendali.
Sampai di sini, beberapa parameter makroekonomi terkini tampaknya tidak mengondisikan BI untuk segera mengubah stance kebijakan moneternya lewat suku bunga acuan. Namun untuk beberapa bulan ke depan, tantangan sektor eksternal kemungkinan akan berubah dinamis, bahkan mungkin sangat drastis.
Pertama, paket stimulus US$1,9 triliun yang diusulkan Joe Biden sudah mulai dieksekusi. Gelontoran stimulus fiskal memancarkan keyakinan pemulihan ekonomi dalam negeri AS bekerja jauh lebih cepat dari perkiraan awal. Angka inflasi 4% (biasanya kurang dari 2%) seolah menjadi bukti yang sahih.
Kedua, paket stimulus fiskal AS dibiayai dari penerbitan surat utang pemerintah (US treasury). Kebutuhan pembiayaan anggaran belanja yang besar mengharuskan Pemerintah AS berani memberikan iming-iming return yang lebih tinggi agar pemain pasar global bersedia memegang surat utang Pemerintah AS.
Alhasil, imbal hasil surat utang pemerintah AS bertenor 10 tahun meningkat fantastis. Pada Januari 2021, imbal hasil surat utang Pemerintah AS berada di level 1,06, lalu meloncat ke level 1,6 pada Maret dan 1,62 pada April 2021. Artinya, naik lebih dari 60% hanya bertenggat kurang dari dua bulan.
Di satu sisi, melejitnya laju inflasi AS yang diikuti dengan penciptaan kesempatan kerja membuka peluang bagi Pemerintah AS untuk secara perlahan mengerem stimulus fiskalnya. Efek lanjutannya, ekspor barang-barang konsumsi Indonesia ke AS bisa menyusut gradual, sehingga pasokan dolar niscaya berkurang.
Di sisi lain, naiknya laju inflasi dan tingginya return surat utang Pemerintah AS sangat boleh jadi mendorong The Fed untuk segera melakukan normalisasi kebijakan moneter, menghentikan pelonggaran kuantitatif (quantittive easing), serta menyeimbangkan kembali neraca keuangannya.
Akibatnya, spread global bonds Indonesia terhadap surat utang Pemerintah AS semakin tipis. Padahal, besaran spread menunjukkan peringkat global bonds Indonesia dalam membayar kewajiban finansialnya yang sama-sama berdenominasi dolar AS. Artinya, tendensi permintaan dolar akan menguat.
Benang merah yang bisa ditarik dari kedua kebijakan otoritas ekonomi AS di atas adalah kemungkinan pelarian modal. Indonesia harus bersaing dengan pasar berkembang lain untuk menahan potensi pelarian modal menuju ke AS, syukur-syukur memperoleh limpahan dana asing dari pasar berkembang.
Obligasi Pemerintah AS (yang di lepas bank sentral AS) disebut-sebut sebagai aset finansial paling aman (safe heaven) dari berbagai risiko. Oleh karenanya, pemodal asing di Indonesia akan menukarkan rupiah ke dolar untuk dibawa ke AS. Cadangan devisa akan kembali tergerus. Konsekuensinya, nilai tukar rupiah terhadap dolar akan bergejolak.
Dengan konfigurasi problematika di atas, BI dihadapkan pada dua opsi untuk menunggu atau mendahului kebijakan ekonomi AS. Opsi menunggu tidaklah terlalu keliru tetapi konsekuensinya agak berat. BI harus menyiapkan sejumlah amunisi kebijakan sterilisasi di pasar valuta asing yang jauh lebih kuat.
Opsi mendahului, sesuai paradigma kebijakan front loading, pre-emptive, dan ahead the curve yang dianut BI, tetap terbuka untuk diinisiasi.
Konkretnya, BI harus bisa mengambil pelajaran berharga dari pengalaman penanggulangan pasar finansial domestik dari dampak kebijakan taper tantrum AS pada 2013. Tanpa inisiatif strategi ahead the curve yang jitu, fenomena ‘dolar pulang kampung’ akan senantiasa berulang.
Risiko yang paling nyata, lagi-lagi, adalah modal asing kabur, cadangan devisa susut, dan gejolak nilai tukar rupiah plus segala mata rantai dampak negatif turunannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel