China Rebalancing Ekonomi, Ini Risiko dan Potensinya bagi Indonesia

Bisnis.com,03 Jun 2021, 18:40 WIB
Penulis: Dany Saputra
Pekerja mengenakan masker di pabrik milik Yanfeng Adient Seating Co. di Shanghai, China, Senin (24/2/2020)./Bloomberg-Qilai Shen

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa Indonesia perlu mengantisipasi proses rebalancing (keseimbangan kembali) ekonomi di China, meski pemulihan ekonomi sedang terjadi dan memberi dasar untuk optimistis.

Keseimbangan kembali di China, papar Sri, akan dapat memengaruhi fluktuasi harga komoditas. Hal tersebut juga memberi dampak negatif kepada seluruh perekonomian dunia.

Menurut Kepala Ekonom BCA David Sumual, proses rebalancing di China akan membawa risiko pada jangka pendek, namun akan menghasilkan potensi atau peluang, khususnya bagi Indonesia pada jangka menengah-panjang.

Pada jangka pendek, seperti halnya pada negara-negara lain dengan tapering yang lebih cepat, David menyebut proses rebalancing akan berdampak pada sektor finansial. Tidak hanya China, negara seperti Amerika Serikat dan Kanada dalam waktu dekat akan mengurangi stimulus dan intervensi likuiditas seiring dengan pulihnya ekonomi di negara masing-masing.

"Apalagi China yang lebih dulu [pulih]. Itu yang harus diwaspadai kemungkinan percepatan pemulihan ekonomi di negara lain yang dampaknya ke sektor finansial kita. Gejolak itu bisa muncul dari outflow dana, dari investasi portofolio terutama saham dan obligasi," jelas David kepada Bisnis, Kamis (3/6/2021).

Namun sebaliknya pada jangka menengah-panjang, David menilai rebalancing di China bisa membuka peluang khususnya di bidang ekspor. David mengatakan rebalancing di China dilakukan untuk menyeimbangkan antara porsi sektor eksternal seperti investasi, dan internal atau konsumsi masyarakat terhadap PDB.

Dengan menargetkan keseimbangan tersebut, David menyebut peluang eskpor Indonesia bisa semakin besar seiring dengan meningkatnya konsumsi di China saat rebalancing.

"Bisa jadi peluang kenapa? Karena China rebalancing struktur ekonomi mereka. Selama ini, [China] berat di investasi, sehingga porsinya terhadap GDP hampir 50 persen. Ini mereka sadari tidak bisa terus-menerus, jadi akhirnya mereka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena porsi konsumsi masyarakat kecil selama ini," jelasnya.

David lalu mencontohkan Indonesia bisa menyasar untuk ekspor seperti mineral olahan. Dia juga mengatakan Indonesia bisa memanfaatkan peluang ekspor untuk sektor dengan penyerapan tenaga kerja tinggi seperti tekstil atau sepatu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Aprianto Cahyo Nugroho
Terkini