Bisnis.com, JAKARTA - Industri teknologi finansial peer-to-peer (fintech P2P) lending tampak telah memperkecil tingkat gagal bayar yang sempat memuncak.
Hal ini terungkap berdasarkan statistik fintech terbaru besutan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di mana tingkat keberhasilan pengembalian pinjaman 90 hari (TKB90) industri kembali ke 98,63 persen.
Sekadar informasi, indikator TKB90 sempat anjlok dalam ketika masa pandemi, tepatnya mencapai 91,12 persen per Agustus 2020, atau dengan kata lain memiliki rata-rata kredit bermasalah (TWP90) mencapai 8,8 persen.
Terkini, OJK mencatat bahwa per April 2021 outstanding pinjaman yang masih dikelola industri mencapai Rp20,61 triliun kepada 20,28 entitas, terdiri dari peminjam (borrower) perorangan 20,27 juta orang senilai Rp17,36 triliun dan borrower badan usaha sebanyak 4.311 entitas senilai Rp3,24 triliun.
OJK membagi kualitas outstanding pinjaman tersisa ini berdasarkan tiga jenis, yaitu lancar, tidak lancar atau terlambat 30-90 hari, dan macet lebih dari 90 hari.
Pinjaman lancar tentu mendominasi mencapai Rp18,93 triliun kepada 18,87 juta entitas borrower. Sisanya, terbagi dalam tidak lancar dan macet.
Borrower yang terbilang tidak lancar pada era new normal ini mencapai 1,19 juta orang dengan nilai outstanding senilai Rp1,24 triliun dan 671 entitas badan usaha senilai Rp155,86 miliar.
Nilai utang para borrower yang terbilang tidak lancar membayarkan cicilan ini sama-sama naik, baik perorangan maupun badan usaha. Per Januari 2021, borrower perorangan tidak lancar mencapai 2,03 juta orang (Rp1,01 triliun), sementara borrower badan usaha hanya 578 entitas (Rp92,7 miliar).
Adapun, jumlah borrower yang pinjamannya macet mencapai 207.716 orang dengan nilai outstanding senilai Rp234,58 miliar dan 509 entitas badan usaha senilai Rp46,96 miliar.
Nilai utang para borrower macet tampak turun kendati jumlah rekeningnya naik, karena per Januari 2021 borrower perorangan tidak lancar mencapai 188.928 orang (Rp285,28 miliar), sementara borrower badan usaha 494 entitas (Rp39,01 miliar).
Juru Bicara Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) sekaligus Founder PT Amartha Mikro Fintek (Amartha) Andi Taufan Garuda Putra mengungkap bahwa era new normal ini membawa para pemain fintech P2P lending semakin ketat dalam menyetujui pengajuan pinjaman.
"Sebagai contoh, di Amartha kita memperketat monitoring portofolio, operasional, risiko dan audit. Tujuannya, untuk menyaring mitra-mitra borrower baru dengan kualitas terbaik, sekaligus mempertahankan kualitas pinjaman mitra yang sedang berjalan tetap baik," jelasnya kepada Bisnis, Selasa (15/6/2021).
Menurut Taufan, hal ini penting karena platform P2P merupakan wadah mempertemukan borrower dan pendana (lender). Kualitas pengembalian pinjaman dari borrower akan mempengaruhi kepercayaan lender untuk terus menitipkan asetnya di industri fintech P2P lending.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel