Indonesia Siap Garap Peluang Keuangan Hijau Berkelanjutan

Bisnis.com,16 Jun 2021, 06:04 WIB
Penulis: M. Richard
Karyawan berada di dekat logo Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Jumat (17/1/2020). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Peluang ekosistem keuangan berkelanjutan diklaim masih tetap tinggi seiring dengan aturan yang sudah kuat serta pandemi menjadi momentum positif pada tahun ini.

Adapun, Indonesia telah mengadopsi ekonomi berkelanjutan dalam UU No.16 /2016 tentang Pengesahan Paris Agreement. 

OJK juga menerbitkan berbagai regulasi, antara lain Peraturan OJK No. 51/2017 Tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan Bagi Lembaga Jasa Keuangan, Emiten dan Perusahaan Publik.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan pandemi menjadi momentum untuk melakukan perubahan, termasuk dari kesadaran akan aspek lingkungan, sosial dan tata kelola perusahaan, tidak terkecuali di sektor keuangan.

OJK pun telah menerbitkan sejumlah regulasi yang sangat efektif untuk mempersiapkan industri jasa keuangan menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang bisnis dan investasi dari keuangan berkelanjutan.

“[Momentum pandemi] ini menjadi insentif menjaga keseimbangan alam, mengubah pola produksi dan konsumsi yang ramah lingkungan. Indonesia sudah terlibat dalam proses penyusunan ekonomi berkelanjutan dan sudah berkomitmen menjalankan agenda itu,” sebutnya dalam Webinar bertajuk Keuangan Berkelanjutan dalam Pemulihan Ekonomi Nasional, yang digelar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia dan Alika Communication, di Jakarta, Selasa (15/6/2021).

Lebih lanjut, dia menjelaskan implementasi pembiayaan berkelanjutan sudah diterapkan pada delapan bank, dilanjutkan dengan bergabungnya lima bank lain.

Penyaluran portofolio hijau perbankan mencapai Rp809,75 triliun, penerbitan Green bond PT Sarana Multi Infrastruktur senilai US$ 500 miliar, Indeks saham Sustainable and Responsible Investment (SRI)-KEHATI juga telah memiliki dana Rp 2,5 triliun, serta berbagai implementasi lainnya.

Dalam kesempatan tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan semua negara di dunia sedang berjuang menghadapi pandemi Covid-19. 

Namun, pandemi jangan sampai menurunkan semangat Indonesia untuk mencapai target pembangunan berkelanjutan.

“Justru pandemi harus menjadi momentum mengedepankan aspek lingkungan dalam menata perekonomian dan kehidupan sosial,” jelas Airlangga.

Dia mengemukakan melalui OJK, pemerintah terus memonitoring perkembangan ekonomi berkelanjutan. 

OJK telah menerbitkan roadmap keuangan berkelanjutan tahap II pada Januari 2021 sebagai kerangka acuan agar lembaga keuangan bisa berperan aktif terhadap pembangunan berkelanjutan.

“Ada 15 bank yang tergabung dalam inisiatif OJK ini. Ini patut diapresiasi karena merupakan bentuk komitmen mendukung industri hijau. Peran bank sangat besar dalam ekonomi berkelanjutan, terutama perlindungan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya lokal,” paparnya.

Sementara itu, Ahmad Solichin Lutfiyanto, Direktur Kepatuhan BRI mengatakan sejak beberapa tahun terakhir, OJK sudah mempersiapkan perbankan dan pelaku jasa keuangan menerapkan keuangan berkelanjutan.

Mau tidak mau, jelasnya, suka tidak suka sektor jasa keuangan akan dipaksa untuk menerapkan keuangan digital, sehingga sangat membutuhkan dukungan regulasi.

Nilai investasi keuangan Environmental, Social and Governance (ESG) terus meningkat drastis. Jika tahun 2016 di angka Rp 324 triliun, dalam empat tahun melonjak menjadi Rp 565 triliun. Angka ini terus meningkat dengan tajam, sejalan dengan perhatian masyarakat dunia terhadap pelestarian lingkungan.

Di BRI sendiri, jelasnya, dari waktu ke waktu porsi dari portofolio ke kredit hijau juga terus meningkat karena adanya tuntutan investor. Perubahan ini, ujarnya, sudah dapat diantisipasi BRI, menyusul telah adanya dukungan regulasi dan komitmen yang ditunjukkan regulator.

Dia menyebutkan regulasi yang menopang perbankan memanfaatkan peluang investasi dari ekonomi berkelanjutan, meliputi POJK 51/2017 yang mewajibkan lembaga jasa keuangan, emiten dan perusahaan publik menerapkan Keuangan Berkelanjutan dan menyusun Laporan Berkelanjutan dan Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan.

Kemudian, ada POJK Tahun 2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan (Green Bond). Green bond hanya dilakukan untuk tujuan pembiayaan atas Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan.

BRI, terangnya, telah berhasil menjadi bank pertama di Asia Tenggara yang menerbitkan Sustainable Bond pada Maret 2019 senilai USD 50 juta. Dengan tenor 5 tahun, kupon 3,95 persen, serta mendapatkan rating Baa2 dari Moody’s dan BBB- dari Fitch, obligasi hijau BRI ini disambut positif oleh pasar global.

Sementara itu, Agus Edy Siregar, Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan OJK menambahkan saat ini dan di masa mendatang akan ada tiga isu besar yang menjadi perhatian dunia, yaitu penanganan Covid-19, proses digitalisasi dan aspek perubahan iklim.

Secara teknis, dukungan OJK lain, paparnya, antara lain dalam bentuk inisiatif keuangan berkelanjutan, carbon trading dan update FSB-Steering Standing Committee on Regulatory and Supervisory Cooperation (SRC) terkait inisiatif keuangan berkelanjutan.

Tantangan dan Peluang

OJK akan masuk dengan mengkategorisasi sektor mana yang menjadi sektor hijau (taksonomi sektor hijau) sebagai klasifikasi sektor untuk mendukung implementasi keuangan berkelanjutan. Penyusunan insentif atau disinsentif pengembangan inovasi produk/jasa keuangan untuk mendorong keuangan berkelanjutan.

Pengembangan kapasitas untuk internal dan eksternal OJK, seperti lembaga publik dan perusahaan jasa keuangan sehingga lebih memahami keuangan berkelanjutan. Jadi akan dibangun Task Force Nasional Keuangan Berkelanjutan.

Pemerintah sedang menyusun regulasi, seperti Perpres untuk pelaksanaan perdagangan karbon dalam bagian dari pelaksanaan keuangan berkelanjutan. Isu perubahan iklim akan masuk ke dalam isu keuangan.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma, menambahkan di Indonesia, sebanyak 90 persen energi masih menggunakan energi fosil, sebanyak 65 persen tergantung kepada impor dan baru 10 persen yang menggunakan energi terbarukan.

Kondisi saat ini menjadi tantangan bagi sektor keuangan, tetapi di sisi lain menjadi peluang bisnis di masa mendatang. IREA menyebutkan 80 persen energi di dunia sudah menggunakan energi terbarukan.

Pada 2050, sebanyak 90 persen akan menggunakan energi terbarukan. Kondisi ini akan sangat berdampak luas karena ada transformasi energi fosil ke energi terbarukan, sehingga dapat menjadi peluang besar bagi sektor keuangan di Indonesia.

Direktur Utama LPPI Mirza Adityaswara menambahkan untuk menggarap peluang itu, OJK telah menyiapkan sejumlah regulasi yang membantu pelaku jasa keuangan menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dari penerapan ekonomi berkelanjutan di dunia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hadijah Alaydrus
Terkini