Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) memperkirakan tapering off oleh Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Fed akan dilakukan pada kuartal I/2022.
Hal tersebut menyusul kondisi inflasi yang meningkat tinggi di AS, meski BI memperkirakan hal tersebut bersifat sementara. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan tekanan inflasi secara fundamental diperkirakan baru akan terjadi pada 2022 dan 2023.
Terkait dengan persiapan yang dilakukan oleh otoritas moneter di Indonesia, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan fokus BI saat ini adalah memperkuat devisa untuk menghadapi taper tantrum yang dipicu oleh kebijakan moneter AS.
Bhima juga mengatakan pada akhirnya BI juga akan kembali mengetatkan kebijakan moneternya seperti menjadi standby buyer Surat Berharga Negara (SBN), serta mengakhiri burden sharing dengan pemerintah. Meski begitu, belum ada yang tahu kapan hal tersebut akan dilakukan.
“Burden sharing tidak bisa dilakukan terus menerus untuk bantu APBN. BI punya tantangan lain yang butuh penanganan lebih cepat yakni menghadapi taper tantrum,” kata Bhima kepada Bisnis, Kamis (17/6/2021).
Bhima juga memperkirakan pengurangan pembelian SBN oleh BI akan terkait dengan proyeksi suku bunga acuan yang lebih tinggi. Alhasil, selisih rate SBN pembelian BI dan rate SBN di pasar memiliki jarak yang terlalu jauh.
“Itu artinya BI makin terbebani untuk beli SBN dengan rate atau bunga khusus,” katanya.
Adapun, BI kembali menahan suku bunga acuan atau BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR) di 3,5 persen hari ini, Kamis (17/6/2021). Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 16-17 Juni 2021 juga memutuskan suku bunga deposit facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 4,25 persen.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel