Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia menyatakan bahwa akan mulai menggunakan skema pembayaran local currency settlement (LCS) dengan China mulai kuartal III/2021.
Oleh karena itu, kedua negara akan menggunakan mata uang rupiah dan yuan dalam transaksi perdagangan bilateral, dan tidak lagi menggunakan dolar Amerika Serikat (AS).
Kepala Departemen Pengembangan Pasar Keuangan BI Donny Hutabarat menyebut kini regulasi kerja sama antar kedua negara tersebut tengah disiapkan agar bisa rampung dalam waktu dekat.
“Untuk China, kita sedang menyiapkan regulatory-nya. Mungkin nanti bulan Juli atau kuartal III/2021 ini akan launching dan segera diterapkan,” kata Donny dalam taklimat media tentang Blueprint Pengembangan Pasar Uang 2025: Membangun Pasar Uang Modern dan Maju di Era Digital secara virtual, Jumat (25/6/2021).
Sebelumnya, BI dan Bank Sentral China telah menyepakati penggunaan mata uang lokal dalam penyelesaian transaksi perdagangan bilateral dan investasi langsung pada September 2020. Hal tersebut tertuang dalam Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh Gubernur PBC Yi Gang dan Gubernur BI Perry Warjiyo.
Kerja sama tersebut memperluas kerangka kerja sama LCS Indonesia dengan sejumlah negara seperti Bank of Thailand, Bank Negara Malaysia, dan Kementerian Keuangan Jepang. Menurut Donny, kerja sama LCS dengan Jepang adalah yang paling berkembang dengan pesat, meskipun baru terimplementasi di 2020.
Donny lalu mengatakan optimistis bahwa minat terhadap perkembangan LCS Indonesia dan China menandakan potensi perkembangan yang pesat.
“Kalau kita lihat dari sisi minatnya, indikasi yang kita lihat setelah berdiskusi dengan pelaku [usaha] dan perbankan, bahwa minatnya akan tinggi. Mungkin China ini akan yang paling cepat perkembangan LCS-nya,” ujar Donny.
Adapun, dia mengatakan kini pihaknya tengah “menjemput bola” untuk melakukan sosialisasi tentang penerapan LCS dengan mata uang selain dolar AS. Donny menilai transaksi dolar AS yang masih mendominasi membuat banyak orang yang masih senang dengan mata uang tersebut.
“Ini perlu sosialisasi dan internalisasi, dan orang masih senang dengan dolar [AS]. Makanya perlu kebijakan yang membuat mereka beralih. Ada insentif yang juga dibuat dan bagaimana diimplementasikan masing-masing negara, dari sisi pelaku usaha masih melakukan itu,” jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel