Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK menilai bahwa pemerintah harus melakukan penyempurnaan dalam upaya penyelamatan polis PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Terdapat dua rekomendasi dari BPK, yakni terkait gugatan pemegang polis dan persiapan kebijakan pendukung.
Pembahasan itu tercantum dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2020 atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. BPK melakukan penilaian atas rencana pemerintah terkait penyelesaian masalah Jiwasraya.
Dalam LHP itu, terdapat poin pembahasan Skema Pemenuhan Kewajiban Pemerintah sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan Dampak yang Diharapkan terhadap Perbaikan Kondisi Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Belum Dikelola Secara Memadai. BPK menemukan adanya potensi pemerintah menanggung beban dan kewajiban kontijensi.
Hal tersebut berasal dari catatan LKPP 2020 terkait perkembangan penyehatan keuangan Jiwasraya. BPK menyatakan kewajiban pemerintah sebagai pengendali Jiwasraya belum dapat diukur secara memadai karena perlu memastikan ada tidaknya tanggung jawab hukum pemerintah, yang harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
BPK pun memperoleh keterangan dari pihak Jiwasraya bahwa terdapat risiko penolakan penawaran restrukturisasi, khususnya terkait polis anuitas pensiunan. Berdasarkan skema restrukturisasi yang disiapkan, dari 40.000 total peserta anuitas pasif, diperkirakan 27.000 di antaranya mengalami pemotongan uang pensiun hingga 65 persen atau pemotongan jangka waktu pembayaran hingga tujuh tahun, dari sebelumnya seumur hidup.
"Diestimasikan kebutuhan tambahan premi yang dibebankan kepada perusahaan pemberi manfaat sebesar Rp6,1 triliun, tetapi berdasarkan profiling pemegang polis berpotensi sekitar Rp3,8 triliun tidak dapat dipenuhi oleh perusahaan pemberi manfaat dikarenakan kondisi keuangan perusahaan pemberi manfaat kurang baik," tertulis dalam laporan tersebut yang dikutip Bisnis, Senin (28/6/2021).
Penurunan manfaat polis itu dinilai melanggar Undang-Undang 11/1992 tentang Dana Pensiun, yakni pembayaran manfaat harus berbentuk angsuran tetap atau meningkat dan dilakukan seumur hidup. Lalu, terdapat pula sejumlah risiko ketidakpastian penanggung pembayaran kekurangan premi akibat restrukturisasi atas program penisun iuran pasti (PPIP).
Risiko kegagalan program restrukturisasi itu berpotensi menimbulkan kewajiban kontijensi bagi pemerintah sebagai PSP Jiwasraya. Masalah yang ada dikhawatirkan dapat menimbulkan potensi penurunan nilai investasi pemerintah di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) akibat penurunan net equity BUMN peserta program restrukturisasi, juga potensi pengalihan risiko keuangan kepada BUMN terkait.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menjelaskan kepada BPK bahwa setelah restrukturisasi, diperkirakan terjadi penurunan liabilitas Jiwasraya dari Rp59,7 triliun menjadi Rp39,3 triliun. Kewajiban itu akan ditutup oleh transfer aset properti Jiwasraya berkisar Rp13,1 triliun, penambahan modal negara (PMN) ke PT BPUI (Persero) senilai Rp20 triliun, dan upaya lain oleh BPUI.
"Dengan demikian pemerintah tidak menanggung kewajiban akibat tidak selesainya penurunan liabilitas pada Jiwasraya, mengingat kepada pemegang polis telah ditawarkan dengan restrukturisasi polis dan melanjutkan di IFG Life, sedangkan nasabah polis yang tidak ikut dalam restrukturisasi akan tetap tinggal di Jiwasraya dengan cara penyelesaian tersendiri," tulis Sri dalam penjelasannya kepada BPK, seperti tercantum dalam IHP.
Dia pun menjelaskan bahwa kewajiban pemerintah sebagai pemegang saham pengendali untuk menutup selisih ekuitas dapat diukur setelah seluruh proses restrukturisasi dan transfer aset selesai. Pemerintah menaksir jumlahnya tersebut sesuai skema yang telah disiapkan, yakni melalui PMN dan upaya BPUI.
Meskipun begitu, BPK menilai bahwa pemerintah belum menjelaskan kemungkinan top up dari BUMN terkait kekurangan premi anuitas. Adanya penambahan premi dapat berdampak terhadap penurunan ekuitas BUMN terkait, lalu jika perusahaan itu tidak memiliki likuiditas cukup terdapat kemungkinan munculnya pengajuan PMN kepada pemerintah untuk menutup pembayaran premi.
BPK pun menilai bahwa skema rencana penyehatan keuangan (RPK) Jiwasraya belum memperhitungkan nasabah yang tidak bersedia direstrukturisasi. Hal tersebut mengakibatkan kewajiban pemerintah sebagai PSP dalam menutup ekuitas negatif dan memenuhi ketentuan minimal risk based capital (RBC) belum dapat diidentifikasi dan diukur.
Terdapat dua rekomendasi BPK bagi Sri Mulyani sebagai wakil pemerintah. Pertama, agar menyusun mitigasi risiko atas potensi gugatan pemegang polis eksisting yang tidak bersedia mengikuti program restrukturisasi polis Jiwasraya.
"Kedua, mengambil kebijakan pendukung atas potensi risiko keuangan berupa BUMN yang terdampak signifikan dalam program restrukturisasi Jiwasraya," tertulis dalam IHP tersebut.
Menteri Keuangan pun akan menindaklanjuti rekomendasi BPK tersebut dengan menunggu terlebih dahulu putusan pengadilan terkait kasus Jiwasraya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel