Kemendag: Tarif Pungutan Ekspor Baru Dorong Daya Saing Industri

Bisnis.com,29 Jun 2021, 20:35 WIB
Penulis: Iim Fathimah Timorria
Sawit

Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perdagangan memastikan bahwa selisih kenaikan tarif pada pungutan ekspor (PE) produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya telah mempertimbangkan dampaknya terhadap daya saing industri sawit dari hulu ke hilir.

Dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 76/PMK.05/2021 yang merevisi PMK No. 191/PMK.05/2020, setiap kenaikan harga CPO sebesar US$50 per ton akan diikuti dengan kenaikan tarif pungutan sebesar US$20 per ton untuk produk CPO dan US$16 per ton untuk produk turunan sampai harga CPO mencapai US$1000 per ton.

Nilai kenaikan tarif ini lebih rendah dibandingkan dengan beleid sebelumnya yang menyebutkan bahwa setiap kenaikan harga CPO US$25 ton akan diikuti dengan kenaikan tarif sebesar US$25 per ton untuk produk hulu. Sementara produk hilir dikenai kenaikan tarif sebesar US$12,5 per ton. Artinya, selisih kenaikan tarif pada beleid terdahulu cenderung lebih lebar dibandingkan dengan aturan baru.

“Besaran yang diputuskan oleh pemerintah tentunya sudah memperhitungkan dampaknya terhadap daya saing industri sawit nasional dari hulu ke hilir,” kata Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri kepada Bisnis.com, Selasa (29/6/2021).

Kasan juga menjelaskan bahwa penetapan besaran kenaikan tarif juga mempertimbangkan peningkatan produktivitas industri di dalam negeri untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Dia mengatakan peningkatan produktivitas bisa ditempuh lewat strategi meningkatkan persaingan di level industri sejenis, baik di dalam negeri maupun dengan industri di luar negeri.

“Dengan selisih US$20 dan US$16 antara produk hulu dan hilir, kami berharap adanya peningkatan kompetisi pada industri hilir di dalam negeri terutama persaingan dengan industri di luar negeri. Sehingga hal ini akan memberikan insentif bagi pelaku industri hilir sawit domestik untuk terus berinovasi dan meningkatkan efisiensi,” tuturnya.

Kasan mengatakan peningkatan infrastruktur dan iklim usaha yang selama ini telah terbentuk bisa mendorong perusahaan-perusahaan sawit bersaing dengan tingkat persaingan yang lebih ketat dibandingkan dengan persaingan sebelumnya.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono memastikan minat penghiliran industri minyak sawit tetap tinggi dengan adanya perubahan tarif pungutan ekspor, meski selisih kenaikan tarif cenderung lebih sedikit. Hal ini setidaknya terlihat dari produksi biodiesel yang berlanjut seiring dengan kucuran insentif yang tersedia.

“Selain itu deviasi pungutan ekspor CPO dan produk hilir cukup besar. Ini sudah cukup memberikan insentif untuk mengolah produk mentah menjadi produk turunan,” kata Joko.

Hal ini, lanjut Joko, setidaknya terlihat dari struktur ekspor produk sawit yang didominasi oleh produk turunan dengan volume mencapai 80 persen dari total ekspor. Sementara produk mentah hanya berada di kisaran 25 sampai 30 persen.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) ekspor produk minyak sawit memang masih didominasi oleh produk hilir. Selama kurun Januari sampai April 2021, total ekspor produk yang masuk kategori refined mencapai 7,45 juta ton dengan nilai US$7,19 miliar. Sementara ekspor minyak sawit dan minyak kernel mentah berjumlah 1,16 juta ton senilai US$1,18 miliar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Rio Sandy Pradana
Terkini