Bisnis.com, JAKARTA - Mulai dari pencurian data, manipulasi, hingga teror dan pelecehan ketika melakukan penagihan, membuktikan bahwa platform pinjaman online (pinjol) ilegal merupakan aksi kriminal terencana yang meresahkan masyarakat.
Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) sekaligus Kepala Departemen Penyidikan Sektor Jasa Keuangan OJK Tongam L. Tobing menjelaskan hal ini menilik mulai semakin beragamnya modus dari para pelaku.
"Salah satunya, sekarang ada modus tiba-tiba saja masyarakat mendapatkan transfer dana. Ini juga jadi perhatian kita karena bagaimana mungkin pelaku mengetahui nomor rekening. Beberapa hanya karena download, walaupun urung untuk meminjam," ungkapnya dalam diskusi virtual bersama Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Rabu (30/6/2021).
Tongam menggarisbawahi bahwa teknologi membuat pelaku bebas membuat lebih dari satu platform, yang apabila salah satu dimatikan, masih ada platform lain yang dengan mudah muncul dalam beberapa hari kemudian.
Belum lagi ditemukannya keterkaitan dari satu pelaku dengan pelaku lainnya, di mana kelompok ini bukan hanya 'saling berbagi' data-data pribadi curian, tetapi juga untuk menjebak pengguna.
Oleh sebab itu, tak jarang peminjam yang telanjur terjerat, biasanya memiliki utang di beberapa platform. Data-data pribadi peminjam pun biasanya digunakan para pelaku sebagai ancaman, melakukan pelecehan verbal, intimidasi, sampai-sampai berani memaksa perbuatan asusila.
Baca Juga : Meresahkan, OJK Berantas 3.193 Pinjol Ilegal |
---|
"Jadi, kita lihat mereka ini mafia, artinya merupakan kelompok. Misalnya, ketika peminjam tidak bisa melunasi pinjaman pinjol A, pelaku akan merekomendasikan pinjol B, dan seterusnya sampai pinjol C untuk peminjam melunasi dengan iming-iming membantu, padahal mereka ini menjerat," tambahnya.
Menanggapi hal ini, Kasubdit V Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus pada Bareskrim Polri Kombes Pol Ma'mun menjelaskan bahwa hingga kini memang belum ada regulasi khusus terkait penindakan kegiatan pinjol atau transaksinya, namun pelaku bisa dijerat atas tindakan-tindakan mereka dalam penagihan tidak beretika.
Terutama, berkaitan dengan pencatutan identitas, pencurian data, sampai penipuan yang dilakukan oleh kelompok pelaku ini. Hingga kini, tercatat terdapat 47 perkara yang Bareskrim tangani berkaitan dampak kegiatan pinjol.
"Kita lakukan penindakan terkait hal ini. Memang beberapa server ada di luar negeri, sehingga kita sulit mengejarnya. Termasuk yang tengah kami tangani [kasus RpCepat] dua pentolan masih belum bisa kita lacak karena menggunakan nomor telepon luar. Bahkan ada kemungkinan ketika kita melakukan penggerebekan, keduanya sudah tidak ada di Indonesia," jelasnya.
Adapun, berkaitan dengan fenomena asal transfer dana dari pelaku, Ma'mun mengimbau masyarakat berhati-hati ketika mengisi suatu formulir secara digital maupun fisik. Pasalnya, dokumen-dokumen tersebut bisa jadi dicuri, dijual-belikan, atau ditemukan pelaku.
"Setelah kita dalami, ada kasus itu yang mendapatkan [data] dari masyarakat yang ngisi-ngisi blanko di mal-mal. Makanya harus hati-hati betul ini dan masih perlu pendalaman lebih jauh,"
Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) Kuseryansyah mengamini bahwa dalam pengamatannya, pinjol ilegal sulit ditindak karena mereka memiliki komunitas.
Sehingga AFPI mendorong adanya regulasi setara undang-undang terkait fintech, sehingga kegiatan pinjam-meminjam dana via platform digital secara ilegal bisa lebih jelas dan dengan mudah bisa diberantas.
"Regulasi perlindungan data pribadi dan regulasi yang khusus itu perlu, supaya jelas mereka ditindak sebelum bisa beroperasi. Karena faktanya, coba saja search di google playstore 'pinjaman online', maka yang keluar masih 50-50 yang legal dan yang ilegal, sangat kasat mata. Mereka masih bisa menawarkan layanannya di platform yang formal," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel