Bisnis.com, JAKARTA - Tahun 2023 merupakan tenggat waktu bagi Bank Umum Konvensional yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) untuk melakukan pemisahan unit tersebut menjadi Bank Umum Syariah (BUS) sesuai amanat Undang-Undang No. 21 tahun 2008.
Aturan ini berlaku untuk semua UUS, baik UUS Bank Umum Konvensional (BUK) maupun UUS Bank Pembangunan Daerah (BPD).
Sejak diundangkan pada 2008, terdapat 3 UUS BPD yang telah berubah menjadi BUS, yaitu spin-off UUS BJB Syariah (2010), konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah (2016) dan terakhir konversi Bank NTB menjadi Bank NTB Syariah (2018). Per Desember 2020, terdapat 13 UUS BPD, dua diantaranya sedang menyiapkan konversi menjadi BUS, yaitu Bank Riau Kepri dan Bank Nagari.
Konversi BUK menjadi BUS bukan hal yang baru. Pertama kali dilakukan oleh Bank Susila Bakti menjadi Bank Syariah Mandiri pada 1999. Beberapa BUK yang juga melakukan konversi antara lain Bank Tugu menjadi Bank Mega Syariah (2004), Bank Harfa menjadi Bank Panin Syariah dan Bank Utama Internasional Bank menjadi Bank BCA Syariah (2009) serta Bank Swaguna menjadi Bank Victoria Syariah (2010).
Dari fenomena ini terlihat bahwa para pemegang saham melihat perbankan syariah sebagai bisnis yang prospektif. Di sisi lain pangsa pasar perbankan syariah per Desember 2020 adalah 6,51% dengan total aset Rp 608,9 trilliun, sedangkan total aset perbankan konvensional mencapai Rp8.744,4 trilliun.
Artinya, jika perbankan konvensional bertumbuh 5%, untuk menaikkan pangsa pasar 0,5% menjadi 7% mereka harus tumbuh organik minimal 13,5%. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya non-organik untuk mempercepat peningkatan pangsa pasarnya.
POJK No.12/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum mewajibkan modal inti minimum Bank Umum sebesar Rp3 triliun paling lambat akhir 2022. Namun, bagi BPD diberikan tenggat waktu hingga akhir 2024.
Bagi bank selain Perusahaan Induk dalam skema Kelompok Usaha Bank (KUB) maka modal inti minimum sebesar Rp1 triliun. Dalam POJK No 59/2020 tentang syarat dan tata cara pemisahan UUS mensyaratkan modal disetor pendirian BUS hasil pemisahan paling kurang Rp1 triliun dalam bentuk tunai. POJK ini merevisi PBI No.15/2013 yang mensyaratkan modal disetor pendirian BUS hasil pemisahan paling kurang Rp 500 miliar.
Artinya, UUS BPD yang akan melakukan pemisahan murni, perlu menyiapkan modal inti minimum Rp1 triliun. Tentu ini bukan nominal yang kecil untuk pemerintah daerah sebagai pemegang saham BPD.
Alih alih untuk modal, dana ini dapat digunakan PEMDA untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi daerah. Namun, jika UUS BPD ditutup atau dijual ke BUS lain, tidak lagi bisa menerima setoran pendaftaran haji. Hal ini merupakan risiko reputasi bagi pemda.
Dalam berbagai kesempatan, Wakil Presiden Ma'ruf Amin juga memberikan arahan agar pemerintah mendorong konversi BPD, khususnya dengan aset besar, untuk meningkatkan pangsa pasar perbankan syariah. Bahkan, salah satu BPD yang sedang menjalani proses konversi juga sudah beraudiensi dengan Wakil Presiden untuk melaporkan perkembangan proses konversi tersebut.
Dengan menjadi BUS, BPD dapat memperluas basis nasabahnya, khususnya di sisi penghimpuan dana. Beberapa dana pensiun telah melakukan konversi menjadi dana pensiun syariah.
Badan pengelola dana seperti BPJS-TK dan BP Tapera juga akan memiliki skema syariah, di mana nantinya optimalisasi dana membutuhkan efek-efek syariah sebagai instrumen investasi, seperti deposito syariah.
BPKH sebagai pengelola dana haji juga membutuhkan BUS untuk penempatan dananya. Hal ini menjadi peluang bagi BPD Syariah untuk mendapatkan sumber pendanaan.
Dalam setiap peluang, pasti ada tantangan konversi ini seperti persetujuan pemegang saham, perizinan ke regulator, penyesuaian IT dan SOP, literasi dan edukasi internal pegawai maupun nasabah existing, hingga penyesuaian dokumen legal dan migrasi rekening. Tantangan ini dapat dijawab dengan persiapan yang matang dari internal BPD dan dukungan pihak-pihak terkait.
Untuk mendapat persetujuan pemegang saham, manajeman perlu mengadakan riset komprehensif guna mengetahui kondisi pasar, preferensi nasabah existing, kesiapan dan kesediaan pegawai terhadap proses konversi, posisi bank di antara bank pesaing, serta merumuskan strategi pemasaran setelah konversi.
Jika hasil riset mendukung konversi, manajemen dapat melanjutkan dengan melakukan proyeksi pertumbuhan bisnis setelah konversi.
Untuk meminimalisasi risiko operasional terkait dengan konversi, secara paralel BPD dapat mulai melakukan penguatan UUS, seperti kebijakan untuk melakukan ‘sharia-first’ di mana nasabah yang datang by default akan ditawarkan produk syariah, sehingga pangsa UUS akan meningkat dan mengurangi beban migrasi ketika persetujuan dari pemegang saham telah didapat dan izin konversi dari regulator telah terbit.
Dengan adanya kewajiban spin off yang masih berlaku, konversi BPD menjadi BPD Syariah bisa menjadi solusi yang baik untuk memastikan peluang-peluang seperti penempatan dana haji dan dana wakaf dapat dimanfaatkan dan tidak perlu memenuhi kewajiban penambahan modal untuk UUS hasil spin- off.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel