Alarm Moneter yang Salah

Bisnis.com,27 Jul 2021, 14:01 WIB
Penulis: Bhima Yudhistira Adhinegara
Karyawan melintas didekat logo Bank Indonesia di Jakarta, Senin (30/12/2019). Bisnis/Abdullah Azzam

Bisnis.com, JAKARTA - Apakah ketakutan berlebihan pada perubahan kebijakan moneter di AS itu berdasar? Pertanyaan ini menjadi perdebatan sejak 2020 karena kekhawatiran stimulus AS yang besar untuk mendorong pemulihan ekonomi akan menciptakan inflasi dan pada akhirnya menimbulkan tekanan pada bank sentral AS untuk mengakhiri program pembelian surat utang.

Bagi negara berkembang, perubahan sedikit saja kebijakan bank sentral di negara maju akan memicu terjadinya pelarian dana asing di negara berkembang seperti Indonesia.

Adakah hal lain yang perlu dicermati, sehingga alarm yang dinyalakan tidak meleset? Dalam artikelnya berjudul Will Another Taper Tantrum Hit the Emerging Markets? di Project Syndicate, Otaviano Canuto, mantan direktur eksekutif IMF menjelaskan dengan gamblang bahwa kekhawatiran taper tantrum sepertinya berlebihan.

Taper tantrum adalah kondisi di mana pasar keuangan panik akibat pengurangan stimulus moneter yang dilakukan oleh The Fed.

Pada 2013 indikator defisit transaksi berjalan cukup melebar di negara yang disebut Fragile Five, termasuk Turki, India dan Indonesia plus ketergantungan terhadap dana asing cukup besar. Sementara kondisi saat ini jelas berbeda.

Sebagai contoh di Indonesia, ketika kepemilikan dana asing di surat utang pemerintah menurun tajam, dari 32,7% per Mei 2020 menjadi 22,8% per Juni 2021, bank sentral dan perbankan diminta gotong royong melakukan pembelian SBN pemerintah. Pada 2013 tidak terdapat langkah extra-ordinary berbentuk pembelian SBN oleh BI atau disebut sebagai burden sharing.

Artinya, saat ini pemerintah dan BI coba memitigasi risiko dengan mencari alternatif pembiayaan domestik daripada mengandalkan pada minat investor asing di surat utang.

Alasan lain, permintaan ekspor yang meningkat akan jadi substitusi valas yang menurun akibat tapering off. Jika stimulus AS efektif dan inflasi di AS naik, tanda permintaan terhadap produk ekspor asal Indonesia juga membaik. Indikator Baltic Dry Index yang terbang ke 3.060 atau naik 148% menunjukkan perdagangan global kembali bergairah.

Spesifik soal AS, porsi ekspor ke AS tercatat sebesar 11,8% dan AS sebagai hub industri manufaktur membutuhkan banyak barang mentah dan barang setengah jadi untuk proses pengolahan lebih lanjut.

Jika skenario dana asing pulang kampung pada 2022 maka kinerja ekspornya harus didorong. Ekspor juga menjadi penting untuk mengimbangi kenaikan utang selama masa pandemi.

Tapering off tetap perlu diwaspadai oleh negara berkembang, termasuk Indonesia. Itu sudah langkah yang tepat.

Namun alarm lain harus dinyalakan agar masyarakat, investor dan pelaku usaha bisa mengantisipasi skenario terburuk. Efek booming harga minyak menyebabkan kenaikan inflasi. Sejak awal Januari tahun ini, harga minyak mentah sudah naik 37,5% ke level US$65,8/barel, menyebabkan risiko pada penyesuaian harga BBM non subsidi.

Dari sisi neraca dagang, harga minyak yang naik mulai terlihat pada melebarnya defisit migas. Per Januari—Juni 2021, defisit migas tercatat US$5,7 miliar, padahal periode tahun sebelumnya US$3,6 miliar.

Tanda bahaya dari sisi harga minyak juga menyeret komoditas perkebunan dan tambang lebih mahal. Bonanza komoditas berisiko mendorong inflasi dari sisi pasokan meski saat ini pelaku usaha masih menahan harga jual karena permintaan lemah.

Reli harga komoditas pun tidak selalu punya dampak positif terhadap ekonomi. Alarm perlu dinyalakan melihat historis harga komoditas yang booming sempat membuat angka kemiskinan naik ketika pemerintah memutuskan menyesuaikan harga energi dan memangkas subsidi BBM.

Kondisi Indonesia sudah menjadi net importir minyak. Kombinasi fluktuasi nilai tukar dengan swing harga minyak mentah jelas berisiko bagi Indonesia.

Berikutnya soal jebakan komoditas yang disebut sebagai Dutch Disease di mana kenikmatan ekspor komoditas menurunkan sektor lain, khususnya industri manufaktur. Padahal sektor manufaktur selalu jadi andalan untuk pemulihan ekonomi paska krisis, karena daya dorong dan serapan tenaga kerjanya relatif besar.

Keajaiban sektor manufaktur dalam mendorong pemulihan China usai lockdown menjadi pelajaran berharga. Indonesia yang terjebak pada bonanza komoditas justru akan blunder bagi perkembangan sektor manufaktur, dan hal tersebut melemahkan struktur perekonomian.

Tidak hanya pada saat pemulihan setelah pandemi tapi berbahaya dalam jangka panjang.

Alarm berikutnya datang dari prospek pemulihan ekonomi setelah Covid-19 yang lambat.

Prospek pertumbuhan ekonomi 2021 tampaknya bisa terkoreksi 0,5%—2%. Nikkei Covid-19 Recovery Index menunjukkan posisi Indonesia yang berada di peringkat ke-110 dari 120 negara.

Komponen terpenting melihat penanganan pandemi versi Nikkei adalah jumlah kasus harian, jumlah tes, dan tingkat vaksinasi yang diberikan kepada penduduk. Alat ukur lain juga bisa merujuk pada The Economist Normalcy Index yang mengukur seberapa cepat suatu ekonomi kembali pada kondisi pra-pandemi.

Posisi Indonesia tercatat mengalami penurunan -8,7 pada 13 Juli 2021 dan dijuluki sebagai ‘negara dengan penurunan indeks tercepat’. Artinya, jalan pemulihan Indonesia masih panjang.

Jalan pemulihan yang terjal membutuhkan support dari sisi moneter tapi juga perlu pertimbangan matang dari sisi risiko.

Sampai kapan BI akan membantu APBN dalam kerangka burden sharing? Apakah BI perlu mempertimbangkan risiko itu terhadap dorongan inflasi? Bagaimana cara agar pertumbuhan kredit bisa kembali dobel digit jadi diskursus moneter yang tidak ada habisnya.

Jika risiko inflasi menjadi hal yang nyata dalam proses pemulihan daya beli, BI jelas perlu mempertimbangkan efek ‘cetak uang’ terhadap kenaikan inflasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Novita Sari Simamora
Terkini