Risiko Serangan Siber Meningkat saat Perusahaan Asuransi WFH

Bisnis.com,28 Jul 2021, 21:21 WIB
Penulis: Wibi Pangestu Pratama
Ilustrasi seorang pria sedang mengetik kode siber./Reuters-Kacper Pempe

Bisnis.com, JAKARTA — Operasional kerja dari rumah atau work from home dinilai meningkatkan risiko serangan siber terhadap lembaga jasa keuangan. Perusahaan asuransi perlu meningkatkan sistem keamanan sibernya agar terhindar dari serangan peretas, seperti yang terjadi kepada PT Asuransi BRI Life.

Hal tersebut disampaikan oleh Dosen Program MM-Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) dan pengamat asuransi Kapler A. Marpaung kepada Bisnis, menanggapi terjadinya kebocoran data BRI Life. Menurut Kapler, serangan siber memang banyak terjadi kepada lembaga jasa keuangan, termasuk asuransi.

Kapler menilai bahwa operasional bisnis dengan kerja dari rumah (work from home/WFH) meningkatkan risiko serangan siber karena perangkat yang digunakan pekerja seringkali merupakan perangkat pribadinya. Perangkat itu dihubungkan dengan sistem kantor untuk melaksanakan berbagai pekerjaan.

"Itu artinya dia memiliki akses dari perangkat komputer pribadinya di rumah dengan database perusahaan. Kalau di kantor tentu kan ada bagian teknologi informasi [TI] yang bisa mengontrol kerja seluruh karyawan, apakah perangkat komputer digunakan sesuai peraturan, dan kalau ada penyalahgunaan data maka cepat langsung terdeteksi. Nah, pertanyaannya apakah saat WFH pengawasan akses database dari rumah bisa dikontrol?" ujar Kapler kepada Bisnis.

Menurutnya, hal tesebut bergantung kepada sistem yang dimiliki masing-masing perusahaan asuransi. Oleh karena itu, seluruh perusahaan asuransi dinilai perlu meninjau kembali keamanan sistemnya di masa WFH agar terhindar dari berbagai risiko yang ada.

Kapler pun menjelaskan bahwa sejak tahun lalu, perusahaan broker asuransi dan reasuransi global Wyatt Lloyds Thomson telah meningatkan industri atas adanya risiko dari operasional bisnis dengan WFH. Hal itu, disertai kejadian BRI Life, harus menjadi pengingat bagi perusahaan-perusahaan asuransi di Indonesia terkait isu keamanan siber.

"Bahkan, diperkirakan [oleh Lloyds] akan banyak tuntutan klaim asuransi untuk cyber insurance. Nah, perusahaan asuransi kan harus lebih care kalau bicara risiko, karena bisnisnya menjual risiko," ujar Kapler.

Kapler menjelaskan bahwa lembaga jasa keuangan yang memiliki data nasabah akan menjadi target pihak-pihak tidak bertanggung jawab.

Menurutnya, peretasan mungkin memiliki risiko relatif rendah jika data yang ada digunakan untuk keperluan pemasaran secara daring, tetapi menjadi berbahaya jika data itu digunakan untuk transaksi keuangan yang akan membebani nasabah secara pribadi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Annisa Sulistyo Rini
Terkini