Bisnis.com, JAKARTA - Program restrukturisasi kredit dan pembiayaan yang diberlakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak Maret 2020 dinilai sudah sangat berhasil dan membantu menjaga stabilitas sistem keuangan, di tengah pandemi Covid-19 yang memukul sejumlah sektor perekonomian.
Direktur Center of Information and Develompment Studies (CIDES) Umar Juoro menyampaikan program restruktusasi kredit sangat membantu, terutama para debitur karena sedang menghadapi masalah cash flow.
"Kredit bermasalah relatif bisa dikelola dengan baik, meskipun sebenarnya sangat dibantu oleh program relaksasi pinjaman dari OJK sejak tahun lalu dan diperpanjang hingga Maret 2022. Ini sangat membantu,” jelasnya dalam keterangan tertulisnya, Senin (9/8/2021).
Hingga Maret 2021, nilai restrukturisasi kredit perbankan mencapai Rp999,7 triliun untuk 7,97 juta debitur. Sebanyak Rp392 triliun dari jumlah ini diajukan oleh 6,17 juta debitur dari pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang menjadi pihak paling terdampak pandemi.
“Sektor perbankan Rp900an triliun yang direstrukturisasi sekarang sudah turun jadi sekitar Rp700an triliun, kalau dilihat dari sektor riilnya, angka itu sangat luar biasa bagi pergerakan ekonomi. Restruktutisasi ini menggambarkan kesulitan yang dialami,” paparnya.
Relaksasi kredit diatur dalam Peraturan OJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019 yang kemudian diubah menjadi POJK Nomor 48/POJK.03/2020.
Umar Juoro mengemukakan pada Agustus ini, OJK akan mengumumkan kelanjutan program relaksasi kredit. Dia memperkirakan program itu akan diperpanjang karena ada penyebaran virus varian baru, sehingga kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat kembali dibatasi.
“Kalau untuk perbankan sendiri, Agustus nanti OJK akan mengumumkan akan diperpanjang atau tidak, tetapi kemungkinan akan diperpanjang lagi. Tinggal sekarang perbankannya. Setahu saya, bank-bank buku empat dan tiga sudah menyiapkan provisinya,” ujarnya lagi.
Dia mengemukakan, saat ini sistem keuangan masih dalam kondisi baik, terutama perbankan. Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Mei 2021 tetap tinggi yakni sebesar 24,28%, dan non performing loan (NPL) 3,35% (bruto) dan 1,10% (neto), sedangkan dana pihak ketiga (DPK) tumbuh sebesar 11,28% (yoy).
Di sisi lain, Umar menuturkan sistem keuangan stabil terlihat dari percepatan pertumbuhan digitalisasi yang ikut mendorong kinerja sektor keuangan. Di pasar modal ada penambahan jumlah investor dan nilai investasi karena teknologi digital mempermudah transaksi dan meningkatkan literasi masyarakat terhadap produk keuangan. Jumlah investor ritel di pasar saham dan obligasi juga meningkat.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) relatif stabil dan hanya bergejolak di bulan pertama pandemi. Varian delta virus yang belakangan muncul juga tidak menjadi sentimen negatif bagi pasar saham.
Kondisi ini mendorong investor tetap mempertahankan sahamnya, bahkan jumlah investor domestik meningkat. Selain itu, Indonesia tidak mengalami masalah likuiditas, perusahaan dan masyarakat juga tidak kekurangan likuiditas.
Umar Juoro meyakini begitu kasus pandemi turun, maka kegiatan ekonomi akan langsung tumbuh karena pada dasarnya tidak ada kerusakan alat produksi dan distribusi. Namun, yang terjadi adalah penghentian atau pengurangan aktivitas bisnis, sehingga pemulihan ekonomi sangat tergantung dengan seberapa cepat Indonesia dapat mengatasi pandemi.
Menurutnya, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal kedua tahun ini yang mencapai 7,07 persen year on year sudah menunjukkan tanda pemulihan ekonomi, meskipun basis angka pembandingnya rendah.
Di sisi lain, dia mengatakan memang masih banyak pelaku usaha mikro yang terpukul dengan pandemi Covid-19, tetapi selama ini belum mengakses kredit perbankan karena masih mengandalkan modal sendiri, sehingga tidak berdampak langsung terhadap kinerja perbankan.
Kondisi ini terlihat dari total rasio kredit Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 35,47 persen. Angka ini masih di bawah rata-rata negara Asean, seperti Singapura sebesar 136 persen dari PDB dan Thailand sebesar 118 persen dari PDB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel