Dia mencontohkan kasus perencana keuangan milenial yang ramai diberitakan tahun 2020 kemarin yang diduga mengelola dan melakukan trading menggunakan uang nasabah pada perusahaan yang terafiliasi dengannya sehingga klien mengalami kerugian. Kasusnya sendiri masih tertahan di kepolisian dan belum menemukan titik terang.
“Selain merugikan, nyatanya perencana keuangan tersebut diduga juga tidak memiliki sertifikat sebagai perencana keuangan. Jika pun ada, ternyata sertifikat yang dimiliki sudah kadaluarsa,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina, Asosiasi Perencana Keuangan Indonesia (APERKEI)
Contoh lain yang sekarang ramai di masyarakat adalah agen asuransi yang sengaja mengambil salah satu gelar perencana keuangan, menggunakan gelar tersebut dan menyebut dirinya sebagai seorang perencana keuangan akan tetapi tidak memberikan layanan perencana keuangan sebagaimana mestinya. Melainkan hanya fokus ke penjualan produk asuransi saja, sehingga hal ini sering kali membingungkan nasabah yang ingin mendapatkan layanan perencana keuangan secara lengkap termasuk investasi pada produk-produk keuangan lainnya selain asuransi.
Memang tidak ada yang salah ketika seorang agen asuransi atau profesi agen lainnya memiliki sertifikat sebagai seorang perencana keuangan tetapi secara kode etik mereka wajib memberitahukan nasabah tentang afiliasi keagenan tersebut dan adanya kemungkinan benturan kepentingan seperti komisi yang akan diterima oleh si agen atas penjualan produk asuransi tersebut.
Begitu pula dengan seorang financial planner independen yang menerima uang baik dalam bentuk komisi, fee dan lainnya dari institusi manapun dari hasil penjualan produknya, juga wajib memberitahu kepada nasabah atau calon nasabah sehingga menghindari adanya konflik kepentingan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel