Bisnis.com, JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan mengklaim potensi pentrasi peningkatan digital banking masih cukup besar seiring dengan potensi kinerja ekonomi dan perilaku digital masyarakat.
Direktur Penelitian Bank Umum Departemen Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Mohamad Miftah mengatakan pengembangan digital sudah terjadi sangat pesat beberapa tahun terakhir, khususnya pada masa pandemi.
"Kendati demikian, potensi penetrasi masih sangat terbuka lantaran akses digital banking juga baru 39,2%. Sehingga masih ada ruang untuk peningkatan penetrasinya masih sangat besar," sebutnya dalam Webinar Infobank TV, Jumat (20/8/2021).
Dia menjelaskan pertumbuhan ekonomi ke depan akan lebih didorong dengan banyak transaksi digital. Bahkan, pertumbuhan kinerja e-commerce nasional diperkirakan mampu mencapai US$124 miliar pada 2025.
Hal tersebut akan menjadi pangsa pasar yang cukup besar bagi perbankan. Oleh karena itu, pengembangan perbankan digital pun masih perlu terus ditingkatkan sekaligus integrasinya dengan pelaku ekonomi digital lainnya.
Adapun, Miftah mengarisbawahi sejauh ini ada 5 transaksi yang menjadi pilihan utama masyarakat dalam menggunakan mobile banking. Transaksi tersebut antara lain kegiatan menabung, belanja online, bayar tagihan, pesan makanan, dan top up e wallet.
Sebagai informasi, OJK menerbitkan POJK No.12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum. Kendati demikian, OJK tidak secara khusus memberikan aturan terkait bank digital.
OJK memaparkan sesuai dengan Undang-Undang mengenai perbankan yang berlaku saat ini, dikenal dua jenis bank yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
"OJK tidak mendefinisikan bank digital sebagai suatu bank jenis baru," sebut OJK dalam keterangan pers OJK, Kamis (19/8/2021).
OJK melanjutkan istilah bank digital tidak mengubah bank secara kelembagaan. Bank tetaplah bank, apapun model bisnisnya.
Dengan demikian, OJK berpandangan bahwa tidak perlu mendikotomikan antara bank tradisional yang sama sekali belum memiliki layanan digital, bank yang telah memiliki layanan perbankan digital, bank yang menerapkan model bisnis bank digital secara hybrid antara lain dengan membentuk unit bisnis sendiri pada bank existing, bank digital hasil transformasi dari bank tradisional, ataupun bank digital yang terbentuk melalui pendirian bank baru (fully digital).
Hal ini lebih merupakan strategi dalam pemilihan model bisnis serta infrastruktur pendukungnya, dan merupakan pilihan bagi pelaku industri perbankan, dan secara kelembagaan tetaplah bank sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai perbankan.
Pada prinsipnya, OJK melanjutkan bank digital adalah bank yang menyediakan dan menjalankan kegiatan usaha yang utamanya melalui saluran elektronik dengan kantor fisik yang terbatas atau tanpa kantor fisik selain kantor pusat.
Bank yang memilih model bisnis fully digital bank tetap diwajibkan memiliki minimal 1 (satu) kantor fisik berupa kantor pusat dan memenuhi persyaratan operasional sebagai bank digital.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel