Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mendorong pemerintah segera mengantisipasi kemungkinan Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) untuk mengurangi stimulus atau tapering off.
Tauhid menilai kebijakan moneter Amerika Serikat tersebut tidak terelakkan karena dapat berpengaruh ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
“Ini kan soal momentum kapan, tentu saja ini pengaruhnya ke kita ke suku bunga, inflasi, pengangguran, dan lain-lain saya kira cukup besar,” kata Tauhid pada webinar, Jumat (20/8/2021).
Adapun, risiko secara langsung dari adanya tapering off adalah nilai tukar rupiah ke dolar AS yang akan cenderung melemah. Selain itu, arus modal asing diperkirakan juga bakal terdampak.
“Pergerakan arus modal asing keluar masuk itu sulit terkontrol. Saya kira memang risiko ini sudah di depan mata, nyata,” tegas Tauhid.
Tauhid merasa peran Bank Indonesia (BI) dalam mengatasi kondisi tersebut sangat penting. Dia menilai kebijakan BI tidak bergantung selalu dengan menaikkan suku bunga. Kendati demikian, BI tetap harus punya intervensi lainnya karena kondisi ini dapat berdampak pada inflasi juga.
Di sisi lain, pemerintah harus memahami kondisinya karena jika BI harus bergerak, maka dukungan BI terhadap APBN akan berkurang.
“Kekhawatiran kita nanti akhirnya pemerintah akan kesulitan karena dukungan BI melemah, karena situasi ini otomatis dukungan ke APBN juga menjadi kurang. Situasi terburuk pasti akan terjadi efisiensi dan sebagainya,” tutur Tauhid.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin sebelumnya mengingatkan bahwa pemulihan ekonomi yang pesat di AS memicu tingginya inflasi, sehingga berpotensi mendorong The Fed menyesuaikan kebijakan moneter.
Amerika Serikat (AS) mencatat inflasi yang tinggi seiring dengan pemulihan ekonomi yang pesat. Indeks Harga Konsumen (IHK) AS Juli 2021 menunjukkan adanya inflasi sebesar 5,4 persen secara tahunan (yoy).
Hal itu, kata Masyita, berbeda dengan Indonesia terlihat dari inflasi dalam negeri yang masih cukup stabil meskipun pertumbuhan ekonomi mengalami rebound dari kontraksi cukup dalam di kuartal kedua tahun 2020 sebesar -5,32 persen (yoy).
Masyita menyebut perlunya antisipasi terhadap pemulihan ekonomi yang pesat, khususnya di AS, yang dibarengi oleh tingginya inflasi. “Pada saat ekonomi sudah mulai rebound, biasanya akan terlihat dari inflasi yang tinggi. Ini sebetulnya perlu diantisipasi dalam pemulihan ekonomi yang cepat seperti di AS, salah satunya rebound dari inflasi yang tinggi,” katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel