Bisnis.com, JAKARTA – Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (Fed) bisa mulai menarik stimulus pada tahun ini seiring dengan pemulihan ekonomi di negara tersebut. Lantas, apakah Indonesia siap menghadapi tapering Fed?
Ketua Federal Reserve (Fed) Jerome Powell mengatakan pengurangan pembelian aset tahun ini seiring dengan mengawasi risiko dari Covid-19 yang terus berkembang. Sementara untuk suku bunga acuan, akan menunggu seiring kembalinya perekomian ke lapangan kerja maksimum dan inflasi sebesar 2 persen secara bekelanjutan.
Kepala Ekonom BCA David Sumual menilai dampak yang berpotensi ditimbulkan oleh tapering ke depan akan dapat dimitigasi oleh Indonesia, bahkan lebih baik dibandingkan dengan yang terjadi pada 2013 lalu.
“Mengenai dampaknya [tapering], saya lihat seharusnya lebih bisa kita mitigasi dibandingkan 2013,” jelas David kepada Bisnis, Sabtu (28/8/2021).
Menurutnya, terdapat 3 (tiga) faktor yang membedakan kemampuan mitigasi Indonesia dalam menghadapi pengetatan kebijakan moneter AS, di 2013 dan 2021. Pertama, cadangan devisa Indonesia pada 2021 lebih besar daripada yang dimiliki saat terjadinya tapering Fed saat 2013.
David menjelaskan pada 2013, cadangan devisa hanya di kisaran US$80 miliar - US$90 miliar. Sementara tahun ini, cadangan devisa Indonesia telah meningkat ke posisi US$137,34 miliar pada posisi Juli 2021.
Cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 8,9 bulan impor atau 8,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Selain itu, cadangan devisa Juli 2021 juga berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
“Jadi jauh lebih besar buffer-nya. Selain itu kita juga punya perjanjian-perjanjian bilateral dan multilateral untuk swap arrangement. Termasuk kita juga punya repo line dengan The Fed yang kemarin digunakan ketika tekanan terhadap rupiah cukup besar saat PSBB tahun lalu,” jelas David.
Kedua, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) Indonesia di 2021 jauh lebih rendah dari posisi di 2013. Adapun, CAD Indonesia kuartal II/2021 tercatat US$2,2 miliar atau setara dengan 0,8 persen dari produk domestik bruto (PDB). CAD pada April-Juni 2021 melebar dari US$1,1 miliar atau 0,4 persen PDB pada Januari-Maret 2021. Akan tetapi, defisit tersebut lebih rendah jika dibandingkan dengan periode 2013 yang mencapai 3 persen PDB.
Ketiga, kinerja ekspor di 2021 yang baik terlihat dari peningkatan secara tahunan sebesar 29,32 persen (year-on-year/yoy) pada Juli 2021. Selain itu, neraca perdagangan yang konsisten surplus selama 15 bulan berturut-turut hingga Juli 2021.
“[Keempat], terkait dengan utang luar negeri dalam denominasi dolar AS juga berkurang. Prapandemi 75 persen sekarang sekitar 66 persen,” tambah David.
Kelima, rendahnya kepemilikan asing terhadap Surat Berharga Negara (SBN). Menurut David, kini pemilik asing jangka menengah dan pendek telah keluar sehingga hanya menyisakan pemilik yang merupakan core investor.
Di sisi lain, BI kini telah melakukan intervensi yang dikenal triple invention baik di Domestic Non-Delivery Forward (DNDF), pasar spot, dan pasar SBN. Sehingga, hal itu dapat menjaga pergerakan rupiah.
“Jadi posisi asing tadinya kan 40 persen dari US$4.500 triliun, sekarang tinggal sekitar 23 persen. Jadi [investor] masuk aja belum, gimana mau keluar,” tutur David.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel