Bisnis.com, JAKARTA - Perusahaan pembiayaan (multifinance) independen masih akan menjalani era new normal dengan penuh tantangan, terutama dari sisi pendanaan.
Pasalnya, di tengah mulai meningkatnya permintaan pembiayaan konsumen, terutama dari objek pembiayaan kendaraan, pendanaan dari perbankan masih tampak lesu.
Hal ini tergambar dari data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait industri pembiayaan per Juli 2021, di mana pendanaan dari bank dalam negeri turun 13 persen (year-on-year/yoy) menjadi Rp129,09 triliun, sementara pendanaan dari bank luar negeri turun 30,9 persen (yoy) menjadi Rp63,73 triliun.
Adapun, sumber pendanaan lain seperti menerbitkan surat utang, bagi multifinance kecil pun terbilang sulit. Menilik mereka masih memiliki rating kecil, sehingga cost of fund kurang kompetitif. Data OJK pun menggambarkan tren penerbitan surat utang multifinance susut 20,15 persen (yoy) ke Rp45,85 triliun.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengonfirmasi bahwa penurunan pendanaan ini terutama disebabkan prioritas pihak perbankan yang mengutamakan multifinance di bawah entitas usahanya.
"Intinya selama 2021 ini kalau pendanaan buat multifinance menengah dan kecil masih sulit. Sehingga, pertumbuhan industri sampai akhir tahun pun kontribusi terbesarnya akan ditopang multifinance besar-besar, anak usaha korporasi," jelasnya kepada Bisnis, Senin (30/8/2021).
Hal ini turut terlihat dari sisi pendapatan operasional dari imbal jasa channeling yang bertumbuh lebih dari dua kali lipat per Juli 2021 mencapai Rp460 miliar. Di samping pendapatan dari pembiayaan modal kerja yang masih tumbuh, sumber pendapatan bunga lain dari kredit investasi, multiguna, dan kredit lain-lain masih turun.
Suwandi berharap multifinance kecil dan menengah mampu segera mencari partner bisnis baru sesuai dengan ekosistem incarannya. Terutama demi secepatnya mendapatkan pendanaan yang nilainya kompetitif, sehingga sudah siap berekspansi ketika perekonomian kembali normal nantinya.
Adapun, bagi multifinance di bawah perbankan seperti PT BCA Finance, mengakui pendanaan dari induk usaha sangat berpengaruh untuk mendapatkan cost of fund kompetitif, sehingga membuka peluang untuk menggelar diskon dan promosi di era new normal ini.
"Komposisi joint financing kami dengan Bank BCA masih tetap sama, yaitu 95 persen [dari total] dan BCA Finance sendiri 5 persen. Sejauh ini karena kinerja keuangan kami masih baik dan NPF [non-performing financing] masih bisa dikendalikan dengan baik, jadi pihak bank masih tetap support kami secara penuh," ujar Direktur Utama BCA Finance Roni Haslim.
Sedikit berbeda, PT Mandiri Tunas Finance (MTF) pun mendapatkan dukungan porsi JF dari Bank Mandiri walaupun sedikit mengalami penurunan, terutama karena pihak bank mempersyaratkan debitur tertentu untuk bisa masuk JF, yang notabene bisa mendapat bunga lebih rendah.
Dengan capaian kinerja pembiayaan baru mencapai Rp9,21 triliun pada semester I/2021, dukungan pembiayaan bersama Bank Mandiri yang tersalurkan ke MTF mencapai Rp3,86 triliun, sisanya Rp5,35 triliun dari dana operasional murni MTF. Sebagai perbandingan, pada semester I/2020 porsi JF mencapai Rp4,1 triliun, sementara non-JF Rp4,73 triliun.
Multifinance/Istimewa
"Pembiayaan JF saat ini terbilang sama saja dengan kondisi sebelum pandemi, tidak ada perubahan. Untuk kondisi kami sekarang, persyaratan JF tentu saja diatur oleh Bank Mandiri dan mengikuti aturan-aturan perbankan," jelasnya.
Vice Chairman of Executive Board PT Indomobil Finance Indonesia Gunawan Effendi menjelaskan lebih lanjut bahwa tren pendanaan bank terhadap multifinance bukan anak usaha mereka lebih didominasi pendanaan modal kerja dan pinjaman sindikasi.
"Dalam hal skema JF tidak menggunakan mirroring, maka kita yang akan dianggap dan dicatat sebagai debitur oleh bank, sehingga tidak ada manfaat dalam menghitung Debt to Equity Ratio [DER]. Bila menerapkan mirroring, tentunya bank akan mencatat end user sebagai debitur, kita hanya mencatat porsi kecilnya, dan ini tidak terlalu mengganggu perhitungan DER," jelasnya.
Hal senada diungkap Direktur Keuangan PT BFI Finance Indonesia Tbk (BFI Finance) Sudjono, di mana perbankan memang cenderung melakukan perjanjian executing atau bilateral loan dengan multifinance, karena secara legal lebih mudah.
"Sekarang ini porsi JF di BFIN di bawah 5 persen [dari portofolio], memang turun. Karena kalau JF itu piutang yang dibiayai sebagian besar juga menjadi milik bank, sehingga kalo konsumen tidak bayar, maka bank juga tidak mendapatkan pembayaran," ungkapnya.
Oleh sebab itu, terkini semua tergantung kepada risk appetite masing-masing bank dan cenderung sulit bagi multifinance independen untuk mendapatkan skema serupa dengan multifinance anak usaha perbankan tersebut.
"Biasanya skema ini digelar kalau bank mau membesarkan asetnya lewat partnership dengan financial corporation, mereka masih senang. Sementara bank yang pernah punya pengalaman bermasalah dengan financial corporation, di mana debitur di sana banyak yang macet, misalnya, maka mereka tentu cenderung menghindari skema ini," tambah Sudjono.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel