Perbankan Era New Economy, Angka atau Cerita?

Bisnis.com,31 Agt 2021, 09:32 WIB
Penulis: Arwin Rasyid
Karyawan beraktivitas di kantor cabang Bank Jago di Jakarta, Senin (29/3/2021). Bisnis/Abdurachman

Baru-baru ini pelaku pasar menyaksikan fenomena menarik di sektor perbankan Korea Selatan. Sebuah bank digital murni pertama sukses melakukan IPO awal bulan ini. Ia adalah KakaoBank, bank digital seluler murni pertama di dunia yang asetnya mencapai Rp359,45 triliun hanya dalam empat tahun. Nilai kapitalisasi KakaoBank kini setara Rp402 triliun. Menyalip KB Financial Group Inc, grup keuangan konvensional dengan kapitalisasi Rp272,8 triliun.

Fenomena menarik juga terjadi di pasar modal Indonesia (IDX), setidaknya sepanjang tahun berjalan ini. Di tengah pertumbuhan IDX yang stagnan hampir nol persen tahun ini, beberapa emiten harga sahamnya justru melesat luar biasa hanya dalam kurun bulanan.

Mereka umumnya perusahaan teknologi (techno-related) dan bank-bank konvensional Buku II yang membangun cerita akan go digital atau menjadi bank digital. Patut dicermati adalah Bank Jago (ARTO). Harga sahamnya melesat 400% selama Januari-Juli 2021. Kapitalisasi pasarnya Rp248,7 triliun, nomor 5 dalam IDX Top 10 di 2021 dengan menggeser Astra Internasional dan Unilever.

Bank Jago hampir menyalip Bank Mandiri yang kapitalisasi pasarnya Rp266 triliun, aset Rp1.580,5 triliun dan total ekuitas Rp189,1 triliun. Bandingkan dengan total aset Bank Jago Rp10,1 triliun, total ekuitas Rp8,1 triliun, dan valuasi hampir menyamai Bank Mandiri. Sebagai mantan bankir, penulis tertarik mengulas lebih jauh fenomena yang cukup ‘ajaib’ tersebut di era new economy.

Kehadiran new economy di suatu zaman biasanya ditandai adanya massive tech boom yang merevolusi dan mendisrupsi aktivitas ekonomi sebelumnya. New economy didorong ledakan teknologi informasi dan komunikasi atau populer dengan istilah teknologi digital. Teknologi yang mengubah cara bekerja, berpikir dan beraktivitas hampir di semua sektor kehidupan, termasuk sektor perbankan. Dari aktivitas offline menjadi online.

Itulah mengapa saham-saham emiten techno-related, terutama perbankan yang membangun cerita akan go-digital atau menjadi bank digital, memberi premium yang fantastis bagi pemegang sahamnya. Sementara perbankan konvensional yang besar dan mapan, yang saat ini masih mendominasi kapitalisasi pasar IDX hingga 30%, nilai kapitalisasi pasarnya pada 2021 tidak naik signifikan, bahkan ada yang justru terpuruk.

Tahun ini bank konvensional masih berkutat dengan kredit bermasalah yang meningkat dan restrukturisasi kredit hampir 20%—25% portofolio. Hampir belum ada ‘cerita baru’ bagi investor ritel. Kalau pun ada, masih seputar inovasi produk digital banking atau menyiapkan bank digital baru.

Lonjakan harga saham emiten bank digital tidak terlepas dari kontribusi investor retail yang mencapai sekitar 50% daily trading volume IDX di 2021. Mereka memandang bank digital sebagai fenomena new economy yang akan menjadi game changer bisnis perbankan masa depan.

Selain itu, ada perbedaan dalam valuasi suatu bank. Bank konvensional lebih dinilai berdasarkan laba dan prospek laba. Bank digital lebih dinilai berdasarkan jumlah customer dan value per customer.

Di era new economy saat ini, bank konvensional lebih dinilai dari ‘angka-angka’ kinerja, sedangkan bank digital lebih dinilai dari ‘cerita-cerita’ tentang prospek dan potensi bisnis digital mereka di masa depan. Kakao Bank dapat menjadi model bank digital yang sukses.

Pertama, berhasil membangun ‘cerita’ sebagai bank digital murni seluler dan sukses IPO. Kedua, berhasil mengakuisisi 13,4 juta pengguna aktif bulanan aplikasi chat Kakao Talk menjadi nasabah. Ketiga, saat IPO sudah mencetak laba Rp10,1 triliun di mana tiga per empat laba berasal dari pendapatan bunga.

Saatnya bank konvensional memikirkan strategi membangun ekosistem digital dari basis customer yang loyal dan telah terjalin lama. Misalnya berkolaborasi dengan debitur agar pelanggan mereka menggunakan alat pembayaran digital milik bank. Begitu pula bank digital, saatnya memikirkan strategi mengakuisisi customer agar tercipta loyalitas.

Studi menyebutkan, user atau customer bank digital tidak loyal. Jika mereka tidak puas dan memberikan review buruk, dengan mudah meninggalkan, bahkan uninstall aplikasi bank digital dari gawai mereka. Jika itu terjadi, bank digital akan semakin lama meraih laba.

Investor ritel yang tidak cukup sabar menanti dividen akan mudah melepasnya kembali. Harga saham yang semula melonjak cepat, terancam turun dengan cepat pula. Menurut studi, diperlukan 2—5 tahun sebelum bank digital meraih laba. Tergantung seberapa cepat mengakuisisi customer dari ekosistem sebagai booster pertumbuhan.

Investor ritel perlu memperhatikan lebih seksama saat melihat misalnya ada bank digital yang modalnya Rp1 trilun dan asetn Rp1,5 triliun masih merugi dan belum ada terobosan menggarap ekosistem. Namun, harga sahamnya naik fantastis hingga ratusan persen dalam beberapa bulan dan divaluasi Rp10 triliun. Apakah wajar sebuah ‘cerita’ dinilai Rp9 triliun?

Bank digital yang telah sukses IPO dan nilai sahamnya melonjak karena cerita digital yang dibangunnya perlu segera bekerja sangat keras untuk membuktikan impiannya. Karena pada intinya, bank adalah bank. Tidak peduli apakah bank digital atau bank konvensional, keduanya adalah bank yang harus mampu memberi return on investment yang layak dan menarik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Feni Freycinetia Fitriani
Terkini