Bisnis.com, JAKARTA - Industri pembiayaan (multifinance) tampak masih konservatif dalam menyalurkan pembiayaan baru, seiring dengan masih tingginya tingkat ketidakpastian kondisi debitur.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2021, piutang pembiayaan industri senilai Rp384,61 triliun tercatat masih terkoreksi 2,36 persen (year-to-date/ytd) ketimbang akhir 2020, dan masih 9,25 persen (year-on-year/yoy) dari tahun sebelumnya.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi Wiratno mengungkap bahwa permintaan kredit di beberapa objek pembiayaan sebenarnya telah membaik, namun beberapa pemain tampak masih menahan diri.
"Sampai sekarang prioritas masih untuk menjaga kualitas portofolio. Walaupun permintaan banyak, yang disetujui masih sedikit karena banyak faktor. Misal, debitur ada di daerah-daerah PPKM [pembatasan sosial], atau mereka bekerja di sektor terdampak pandemi," ujarnya kepada Bisnis, Rabu (1/8/2021).
Namun demikian, menurut Suwandi capaian ini masih berada dalam jalur terprediksi. Ini menandakan penyaluran pembiayaan baru sudah mulai marak, walaupun masih belum bisa menutup pengurangan aset piutang. APPI pun masih mematok kontraksi total piutang pembiayaan minus satu persen pada akhir 2021.
"Akhirnya, yang bisa menopang tinggal inovasi tiap-tiap perusahaan. Semua pasti sudah diupayakan, mulai dari memperkuat kerja sama dengan dealer, memberikan produk pembiayaan baru, atau tebar promo untuk segmen debitur tertentu. Tapi itu tadi, prioritas kita masih selektif," tambahnya.
Hal ini tampak tergambar dari mulai munculnya pertumbuhan di beberapa objek pembiayaan, yang didominasi jenis fasilitas pinjaman yang lebih 'ringan' risikonya.
Misalnya, dari objek pembiayaan konsumtif, barang elektronik sudah tumbuh 19,23 persen (ytd) menjadi Rp3,55 triliun. Sementara itu, barang konsumsi lain-lain Rp7,47 triliun bahkan tumbuh dari akhir tahun sekaligus secara tahunan, masing-masing 71,63 persen (ytd) dan 66,68 persen (yoy).
Dari sektor otomotif, outstanding yang sudah tumbuh ketimbang akhir 2020 dicatatkan sepeda motor bekas sebesar 7,19 persen dengan nilai outstanding Rp17,77 triliun. Sepeda motor baru turun tipis 1,81 persen dengan nilai outstanding Rp63,5 triliun, mobil baru masih turun 3,03 persen dengan nilai outstanding Rp108,8 triliun, sementara mobil bekas turun 2,9 persen dengan nilai outstanding Rp55,6 triliun.
Kondisi tersebut menunjukan bahwa permintaan kredit debitur untuk objek-objek dengan harga relatif rendah, sudah bisa lebih diterima leasing. Beda dengan kendaraan, terutama mobil baru, di mana baru bisa menyentuh debitur dengan ekonomi menengah ke atas yang daya belinya sudah pulih.
Kredit di sektor jasa yang totalnya Rp9,5 triliun pun tampak mengalami kenaikan pesat, yaitu 37,08 persen (yoy) dan 15,31 persen (ytd). Terdorong oleh pinjaman untuk pendidikan sebesar Rp445 miliar atau naik lebih dari 10 kali lipat ketimbang tahun lalu, serta jasa lainnya mencapai Rp8,8 triliun atau naik 35,2 persen (yoy).
Tren kenaikan juga dialami piutang pembiayaan modal kerja secara keseluruhan mampu mencapai Rp27,21 triliun yang naik 17 persen (yoy), yang di dalamnya termasuk piutang usaha Rp4,93 triliun di mana tercatat tumbuh 33,9 persen (yoy).
Suwandi menjelaskan bahwa pembiayaan modal kerja didorong maraknya permintaan pembiayaan invoice jangka pendek dari mitra kerja. Multifinance mudah memberikannya, karena mitra ini mencakup dealer, debitur badan usaha yang memiliki relasi dengan leasing, atau pelaku usaha prospektif yang masih memiliki piutang berjalan.
Sementara itu, tampak bahwa kredit leasing ke sektor produktif, baik alat berat, komputer kantor, permesinan, dan kendaraan niaga, kompak mengalami kontraksi mulai 2 sampai 7 persen (ytd), kecuali yang tergolong kredit barang produktif lain-lain.
Senada, lembaga pengelola informasi perkreditan sekaligus jasa credit scoring dan analisa kredit PT PEFINDO Biro Kredit (IdScore), menekankan bahwa kondisi profil kredit debitur di Indonesia pada 2021 ini belum membaik.
Yohanes Arts Abimanyu, Direktur Utama Pefindo Biro Kredit menjelaskan bahwa jumlah debitur low risk dan average risk dibandingkan high risk dan very high risk mencapai 50:50 pada Desember 2020. Kini, debitur high risk dan very high risk telah mencapai level 69,9 persen.
"Ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi lembaga keuangan termasuk multifinance yang di satu sisi dituntut untuk mengejar target pembiayaan, sementara di sisi lain perlu menjaga kualitas portfolio pembiayaan dan mencegah kenaikan kredit macet atau NPF," jelasnya.
Untuk menyiasati hal ini, beberapa pemain pun tampak memiliki strategi tersendiri. Contoh, kebanyakan multifinance milik perbankan, biasanya memberikan bunga khusus bagi calon debitur yang sekaligus nasabah induk usaha.
Lainnya, mengurangi risiko dengan mengutamakan repeat costumer, seperti mengusung program loyalitas, membuat program cross-sales agar debitur suatu produk pembiayaan tertarik mengambil produk pembiayaan lain yang disediakan pelaku, atau membuat produk baru yang risikonya lebih konservatif secara jangka panjang, seperti produk cicilan logam mulia atau cicilan persiapan haji.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel