Bisnis.com, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) diketahui akan mewajibkan perbankan untuk memenuhi Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) untuk meningkatkan inklusi ekonomi dan akses keuangan bagi UMKM.
Perbankan diharuskan memenuhi RPIM secara bertahap, yaitu 20 persen pada 2022, lalu 25 persen pada 2023, hingga 30 persen pada 2024. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 23/13/PBI/2021 tentang RPIM bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah, yang berlaku efektif sejak 31 Agustus 2021.
Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) yang juga ekonom INDEF, Aviliani, menilai aturan BI itu bisa membahayakan industri perbankan. Sebab, UMKM yang naik kelas juga masih sedikit, sehingga kredit dalam jumlah besar biasanya hanya diperlukan jika kondisi perekonomian sudah stabil dan baik.
“Karena kalau kami lihat kenaikan kelas UMKM sangat lamban, takutnya dipaksakan dan tidak terserap. Apalagi ada denda juga,” ujarnya dalam webinar Bisnis Indonesia Banking Outlook 2021, Selasa (7/9/2021).
Aviliani menambahkan seharusnya aturan tersebut bisa ditinjau kembali sesuai dengan seberapa besar pembiayaan atau kredit yang dibutuhkan UMKM. Dia menilai kebutuhan UMKM setiap tahun tidak begitu membutuhkan pinjaman sebesar yang ditetapkan BI.
“Kalau ekonomi sudah bagus 2023, apakah mampu 30 persennya terserap UMKM? 30 persen itu tinggi. Perlu dihitung kembali,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, kebijakan BI itu sudah melampaui kewenangan Bank Sentral. Hal tersebut dinilai dapat membuat industri perbankan kebingungan untuk menjalankan bisnisnya.
Menurut Piter, BI seharusnya mendorong penyaluran kredit perbankan melalui instrumen moneter, bukan masuk ke individu bank dan memberikan sanksi. Pasalnya, ada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur dan mengawasi perbankan.
Piter melanjutkan pengaturan besaran pemberian kredit ini dinilai memberatkan perbankan. Apalagi, tidak semua bank memiliki porsi yang besar terhadap UMKM, tergantung dari karakter bisnis bank tersebut.
“BI bisa mendorong bank dengan instrumen moneter yang mereka miliki, antara lain suku bunga. Kalau kemudian instrumen suku bunga tidak efektif, BI harusnya fokus mencari apa penyebab instrumen suku bunga tidak bisa meningkatkan penyaluran kredit,” pungkasnya.
Kepala Departemen Kebijakan Makropudensial BI Juda Agung sebelumnya mengatakan bahwa perbankan wajib memenuhi RPIM UMKM sebesar 20 persen pada Juni 2022.
Menurutnya perluasan target pembiayaan inklusif tersebut dilakukan karena UMKM sangat berperan dalam perekonomian, dengan tingkat penyerapan tenaga kerja tinggi, serta pangsa yang besar terhadap PDB, sehingga UMKM menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional.
Nantinya, akan terdapat sanksi bagi bank yang tidak bisa memenuhi target RPIM, yang akan diawali dengan teguran tertulis terlebih dahulu pada Juni 2022 dan Desember 2022.Teguran tertulis tersebut juga akan ditembuskan kepada OJK.
Jika teguran tersebut tidak bisa dipenuhi, Juda menyebutkan akan ada sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,1 persen dikali nilai kekurangan RPIM (maksimal Rp 5 miliar untuk setiap posisi pemenuhan RPIM), yang akan diberlakukan sejak Juni 2023.
Namun, sanksi RPIM akan dikecualikan untuk bank yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha seperti kredit/pembiayaan atau penghimpunan dana oleh OJK, Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI), Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK), dan bank perantara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel