Bisnis.com, JAKARTA - PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. menjelaskan bahwa risiko dari normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS), atau tapering off, tidak akan menyebabkan risiko yang sama seperti yang terjadi saat krisis ekonomi 2013.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan terdapat berbagai hal positif yang membedakan situasi dan kondisi Indonesia pada 2013 dan 2021. Seperti diketahui pada 2013, kebijakan tapering off bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) menyebabkan apa yang disebut taper tantrum, khususnya pada pasar negara berkembang atau emerging markets.
"Kita melihat indikator makroekonomi Indonesia jauh berbeda dengan posisi pada 2013 yang lalu. Kita bicara tingkat inflasi pada 2013 di tingkat [sekitar] 8 persen, sekarang di kisaran 2-3 persen di 2021 ini. Kita bicara current account deficit [CAD] juga jauh berbeda, di 2013 di atas 3 persen," jelas Andry pada acara Macroeconomic Outlook 2021 Bank Mandiri "Ekonomi Indonesia 2021-2022: Menjaga Momentum Pertumbuhan" secara virtual, Kamis (9/9/2021).
Selain itu, posisi cadangan devisa Indonesia juga jauh berbeda antara posisi di 2021 dan 2013 silam. Pada 2021, posisi cadangan devisa bahkan menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah yaitu US$144,8 miliar.
Sementara, pada 8 tahun lalu, posisi cadangan devisa Indonesia masih berada di bawah US$100 miliar.
Tidak hanya itu, Bank Indonesia (BI) juga memiliki instrumen kebijakan yang cukup melalui kebijakan triple intervention dalam menjaga stabilitas rupiah, serta koordinasi tetap dilakukan dengan Kementerian Keuangan sehingga imbal hasil surat berharga negara (SBN) akan dikelola tetap menarik bagi investor asing.
"Kalaupun ada outflow, kemungkinan dengan full intervention dari Bank Indonesia, kita masih bisa menjaga cadangan devisa di atas US$100 miliar," kata Andry.
Sementara itu, komposisi kepemilikan asing pada pasar domestik antara 2021 dan 2013 cukup berbeda. Andry mencatat, secara rasio dibandingkan dengan total, total kepemilikan asing yaitu sebesar 23 persen pada 2021.
Pada 2013, kepemilikan asing masih lebih besar yaitu 32 persen, jika dibandingkan dengan persentase kepemilikan tahun ini.
Meski sejumlah indikator tersebut menunjukkan ketahanan Indonesia yang lebih baik dalam menghadapi tapering, Andry memandang bahwa Indonesia tetap perlu mengejar pemulihan ekonomi secara cepat di 2022.
Hal ini berkaitan dengan kebijakan suku bunga acuan bank-bank sentral, khususnya The Fed, yang lambat laun pasti akan terjadi seiring dengan pemulihan ekonomi. Gubernur The Fed Jerome Powell meski begitu mensinyalkan bahwa kenaikan suku bunga AS tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
Andry mengatakan terdapat sejumlah skenario periode pemulihan ekonomi dan skenario untuk menghadapi perubahan kebijakan suku bunga bank sentral global.
Dia menyebut pada periode 2020 sampai 2022 merupakan periode bagi Indonesia untuk bertahan dari krisis pandemi Covid-19 dan masa pemulihan ekonomi. Sementara, pada 2023 sampai 2025 merupakan periode antisipasi perubahan kebijakan bank sentral global.
"Bayangan kami kalau pakai baseline skenarionya di mana The Fed baru menaikkan suku bunga di 2023, antisipasinya maka kita perlu pulih di domestik ini pada 2021 dan 2022. [Pada saat itu], kita sudah harus siap, karena ke depan tantangannya sudah berbeda lagi," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel