Bisnis.com, JAKARTA - Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menanggapi peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) UMKM.
Wimboh menegaskan target penyaluran kredit ke segmen UMKM sebesar 30 persen portofolio perbankan pada 2024 merupakan target nasional. Adapun, target RPIM dipatok 20 persen hingga Juni 2022.
Saat ini, menurut Wimboh, masih banyak bank yang rasio pembiayaan UMKM nya di bawah 30 persen. Sementara bank yang mencapai di atas 30 persen atau sekitar 34 persen masih sangat minim.
“Tentu hal ini masih kita lihat. Kalau ada bank yang sudah memenuhi target nasional 30 persen kita dorong. Tapi kalau yang selama ini masih di bawah 30 persen maka sama-sama dikawal agar bisa mencapai threshold. Ibarat lari, ini sama-sama mulai start-nya,” kata Wimboh dalam keterangan resmi pada Rabu (8/9/2021).
Target tersebut, lanjut Wimboh, dilatarbelakangi karena ketika bank membiayai proyek strategis seperti infrastruktur, tambang dan lainnya sangat besar, namun pembiayaan ke UMKM masih kecil.
“Sebenarnya ini yang menjadi perhatian pemerintah, supaya UMKM jangan dilupakan,” ujarnya. Namun secara individu bank diatur dan disesuaikan dengan bisnis modelnya masing-masing bank.
"Kalau ada bank yang sudah besar porsi UMKM nya ya kita dorong terus untuk tetap tinggi. Dan jika ada bank yang khusus di sektor korporasi, didorong juga tetap fokus seiring dengan penyaluran ke UMKM," tutur Wimboh.
Dia menilai jangan sampai karena memenuhi target 30 persen UMKM, justru perbankan asal yang penting target terpenuhi, namun melupakan kredit di sektor lain, korporasi misalnya jadi tidak tumbuh.
“Jangan sampai justru target 30 persen ini tapi tak memberikan efek lahirnya entrepreneur-entrepreneur yang berkualitas. Jangan hanya karena memenuhi angka nasional tapi kredit tak memberikan impact,” tegas Wimboh.
Ketua Bidang Kajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani menilai aturan BI soal RPIM UMKM untuk perbankan minimal 20 persen di Juni 2022, bahkan 30 persen di Juni 2024 bisa membahayakan industri perbankan.
Hal ini lantaran, UMKM yang mengalami kenaikan kelas juga masih sedikit. Selain itu, kredit dalam jumlah besar biasanya hanya diperlukan jika kondisi perekonomian sudah stabil dan baik.
“Bahayanya terutama bagi bank BUKU 3 dan BUKU 4. Mereka harus biaya infrastruktur yang jumlahnya signifikan, 30 persen ada yang serap enggak? Karena kalau kita lihat kenaikan kelas UMKM sangat lambat, takutnya dipaksakan dan enggak terserap. Apalagi ada denda juga,” ujar Aviliani dalam webinar Bisnis Indonesia, Selasa (7/9).
Aviliani melanjutkan, seharusnya aturan tersebut bisa ditinjau kembali. Seberapa besar pembiayaan atau kredit yang dibutuhkan UMKM.
“Jadi menurut saya perlu dilihat lagi apakah benar UMKM setiap tahun butuh pinjaman sebesar itu? Menurut saya itu agak diragukan,” jelasnya.
“Kalau ekonomi sudah bagus 2023, apakah mampu 30 persennya mampu terserap UMKM? 30 persen itu tinggi lho. Perlu dihitung kembali,” tambahnya.
BI sebelumnya mewajibkan perbankan untuk memenuhi RPIM UMKM sebesar 20 persen pada Juni 2022. Perhitungannya dilakukan secara bertahap yang kemudian menjadi 25 persen pada Juni 2023 dan 30 persen di Juni 2024.
Perluasan target pembiayaan inklusif tersebut dilakukan karena UMKM sangat berperan dalam perekonomian, dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi serta pangsa yang besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), sehingga UMKM menjadi kunci pemulihan ekonomi nasional.
Nantinya, akan terdapat sanksi bagi bank yang tidak bisa memenuhi target RPIM tersebut, yang akan diawali dengan teguran tertulis terlebih dahulu pada Juni 2022 dan Desember 2022.
"Teguran tertulis tersebut juga akan ditembuskan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," jelas Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) Juda Agung dalam taklimat media, Jumat (3/9).
Jika nantinya teguran tersebut tidak bisa dipenuhi, Juda menyebutkan akan ada sanksi teguran tertulis dan sanksi kewajiban membayar sebesar 0,1 persen dikali nilai kekurangan RPIM (maksimal Rp 5 miliar untuk setiap posisi pemenuhan RPIM), yang akan diberlakukan sejak Juni 2023.
Namun, sanksi RPIM akan dikecualikan untuk bank yang sedang dikenakan pembatasan kegiatan usaha seperti kredit atau pembiayaan dan penghimpunan dana oleh OJK, Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI)/Bank Dalam Pengawasan Khusus (BDPK), serta bank perantara.
Hal itu disampaikan Airlangga dalam keterangannya usai mendampingi Presiden dalam pertemuan dengan perwakilan direktur utama bank, di Istana Negara, Jakarta, Rabu (8/9/2021).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel