Bisnis.com, JAKARTA - Kondisi maraknya transaksi digital di Indonesia harus tetap ditopang oleh upaya peningkatan literasi dan inklusi keuangan dari berbagai stakeholder, terutama pelaku lembaga jasa keuangan.
Kepala Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Adi Budiarso menjelaskan hal ini terlihat dari indeks literasi dan inklusi keuangan masyarakat yang masih rendah.
Kepemilikan rekening bank dari seluruh penduduk pun baru di kisaran 61 persen. Jauh ketimbang negara Asia Tenggara (Asean) lain yang sudah membidik persentase 90 persen.
Beruntung, Adi mengungkap para pemain di sektor keuangan digital, terutama klaster payment dan lending tampak telah membantu peningkatan inklusi keuangan. Alhasil, pekerjaan rumah utama tinggal bagaimana meningkatkan pendalaman literasi, berpijak dari dua layanan yang paling populer ini.
"Pendalaman masih jadi PR, karena Indonesia itu masih kebalik, pengetahuan soal digital lending sudah jauh lebih besar ketimbang digital payment. Mau transaksi dari dompet digital misalnya, top-up [saldo] masih banyak dari merchant offline seperti minimarket, belum full online dari mobile banking atau layanan lain dari ponselnya. Maka, penetrasi para pemain mulai dari bank sampai fintech itu sendiri, harus terus mendorong pendalaman literasi," ujarnya dalam diskusi virtual, Kamis (9/9/2021).
Oleh sebab itu, pemerintah terus mendorong adanya kolaborasi dari berbagai stakeholder berkaitan pendalaman literasi, terutama menguatkan budaya kebutuhan akan lembaga jasa keuangan sejak dari sekolah sampai perguruan tinggi.
Harapannya, selain payment dan lending, transaksi digital untuk investment, remitansi, insurance, sampai akhirnya ke dana pensiun dan crowdfunding pun mampu turut menguat.
"Langkah yang paling necessary ini sekarang kepemilikan rekening bank. Setelah itu, digitalisasi bisa didorong untuk menguatkan kebutuhan akan simpanan jangka panjang atau dana pensiun dan proteksi asuransi. Karena dibandingkan negara tetangga, kontribusi kedua layanan itu ke PDB Indonesia kecil sekali, baru 11 persen," tambahnya.
Dudi Dermawan, Kepala Grup SP Nilai Besar dan Perizinan SP PUR Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran, Bank Indonesia (BI) menjelaskan bahwa salah satu langkah pemerintah untuk mendukung kolaborasi para pelaku, yaitu standarisasi open Application Programming Interfaces (open API).
Harapannya, dengan kolaborasi yang semakin matang dan mudah, masyarakat bisa mendapatkan banyak pilihan layanan, yang pada akhirnya membawa transaksi uang elektronik yang kini tumbuh mencapai 50 persen (year-on-year/yoy) menjadi Rp70,7 triliun pun bisa terus terjaga.
"Sekarang kita lihat pemain yang mau kolaborasi itu kesusahan karena masing-masing ada 200 sampai 300 API yang berbeda, belum lagi kemampuan IT dan SDM yang juga beda. Lewat standarisasi API, harapannya keamanan dari kejahatan siber lebih kuat, interlink antara bank dengan fintech juga meningkat, dan buat bank sentral sendiri, kita punya kepentingan untuk mencegah terjadinya shadow banking," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel