Perkembangan fintech dan techfin selama 5 tahun terakhir sangat fenomenal, banyak sekali bermunculan produk dan layanan digital yang inovatif, dan kompetitif misalnya super apps untuk ecommerce, P2P lending, crowd funding/sourcing, payment aggregator, remittance, ataupun laku pandai.
Perkembangan fintech yang luar biasa ini didorong oleh 3 hal utama, yaitu entry barrier yang relatif rendah, adanya dukungan dari sisi regulator yang mempermudah proses dan akses terhadap kapital yang cukup luas.
Bahkan akhir-akhir ini ramai diberitakan kelahiran konsep neobank, dimana bank dapat beroperasi tanpa cabang atau dengan kata lain beroperasi penuh secara digital dan telah memiliki ijin perbankan. Hal ini kemudian membuat segmentasi industri layanan keuangan berubah menjadi konvensional bank, neobank, fintech, serta techfin.
Secara umum tantangan yang dihadapi perbankan ritel saat ini adalah; Pertama, adanya tuntutan yang cukup tinggi dari pelanggan untuk memberikan produk ataupun layanan yang mempunyai inovasi (atau mempunyai konsep easy, convenient, reliable dan secure), hyperpersonalization, omnichannel journey dan experience.
Kedua, munculnya kompetitor baru dari fintech dan techfin, startup bahkan neobank. Ketiga, situasi market yang volatile, perlambatan ekonomi, krisis, situasi pandemi. Keempat, adanya regulasi baru seperti basel, compliance, cyber risk, low entry untuk fintech dan startup.
Perkembangan tersebut juga ikut memicu bank untuk segera melakukan transformasi digital, bahkan dalam situasi pandemi Covid-19, hal ini terjadi untuk berbagai industri dimana adanya tuntutan percepatan transformasi digital yang saat ini tidak hanya untuk memperoleh keunggulan kompetitif saja, tetapi lebih ke arah survival of the fittest, supaya korporasi tetap relevan dan bertahan hidup ke depannya.
Di Indonesia bisa dilihat bank berlomba membangun digital channel, mulai dari EDC, ATM, internet banking, mobile banking yang didukung oleh call center.
Bank menyediakan layanannya secara multichannel melalui cabang, ATM, IB, MB, call center, meskipun masih terkesan fragmented dan silo, customer experience pada masing-masing channel berbeda-beda bahkan secara teknologi, platform yang digunakan berbeda untuk masing-masing channel berbeda.
Hal ini kemudian menimbulkan tantangan bisnis, teknis dan operasional. Seharusnya layanan multichannel dikembangkan lebih lanjut menjadi seamless omnichannel, sehingga nasabah bisa melakukan transaksi di berbagai channel dengan user experience yang sama dengan data yang komprehensif, serta memungkinkan nasabah memulai transaksi di satu channel dan menutup di channel lain secara transparan.
Kalau kita mengamati lebih lanjut, upaya perbankan dalam melaksanakan transformasi digital lebih banyak berfokus pada front end (channel) dan hal ini adalah langkah awal yang tepat sebagai quick win solution untuk mempercepat pemberian experience yang baru terhadap nasabah dan untuk mendapatkan akuisisi nasabah baru.
Namun transformasi digital ini perlu dilanjutkan ke tengah (middle layer) untuk memperkuat proses bisnis di dalam memberikan layanan perbankan yang sesungguhnya kepada nasabah, sampai kepada layer Core Banking untuk dapat memberikan fleksibilitas dalam memenuhi kebutuhan bisnis yang sangat agile, terutama bagi bank yang menggunakan traditional legacy system.
Analogi yang mungkin sesuai dengan transformasi digital adalah seperti pertandingan sepak bola yang membutuhkan strategi dan upaya penguatan di lini depan untuk menyerang dan mencetak gol, tengah untuk mendukung serangan dan membantu pertahanan dan belakang untuk menjaga dan mengumpan bola ke depan.
Transformasi yang menyentuh core banking ini perlu mulai dikaji dan direncanakan secara serius untuk mengantisipasi lonjakan beban transaksi baik dari sisi volume maupun jenis layanan yang akan semakin variatif dengan inovasi-inovasi digital banking pada front end (channel), ditambah dengan kolaborasi bank-fintech-techfin.
Beberapa inisiatif yang dapat dilakukan sebelum melakukan pergantian core banking dengan teknologi yang terkini, adalah meningkatkan otomasi proses di lini tengah (middle layer), misalnya dengan EAI, ESB, API, BPM, untuk menurunkan beban yang dilakukan oleh core banking sehingga core banking hanya menjalankan fungsi-fungsi dasar, sehingga pada saat migrasi ke core baru dilakukan akan semakin lebih mudah.
Core banking yang modern telah memisahkan bagian front end dan back end yang dihubungkan melalui layer API, yang memberikan keleluasaan bagi bank untuk mengembangkan inovasi bisnis, produk, layanan berbasis omnichannel yang sangat dinamis serta pemanfaatan ekosistem digital yang sudah banyak di pasar.
Adapun pemutakhiran di sisi teknologi yang digunakan pada layer backend akan terus diperbaharui untuk mendukung proses pengembangan, testing dan migrasi data yang kemudian dilengkapi oleh proses deployment yang otomatis menggunakan DevOps.
Bank sebagai platform menjadi tren penting untuk mendukung bisnis perbankan di era ekosistem digital. Bisnis bank bisa dirancang dengan model utility yang bersifat agile dan peranan solusi berbasis API , AI, big data, microservices dan cloud menjadi sangat penting karena memberikan flekibilitas dan scalability terhadap kapasitas proses dan cepat beradaptasi terhadap kebutuhan.
Untuk kedepannya diramalkan peranan teknologi berbasis blockchain juga akan mempengaruhi sistem teknologi perbankan, terdapat sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa pengaruh blockchain terhadap perbankan di masa mendatang bisa jadi seperti pengaruh internet terhadap media.
Saat ini momentum untuk melakukan transformasi digital bagi bank sudah tepat, adanya dukungan dari sisi regulasi yang mulai memprioritaskan digitalisasi dan adanya sedikit kemudahan terhadap proses perijinan produk bank digital, adopsi teknologi cloud juga terbuka dengan beroperasinya beberapa penyedia cloud di Indonesia.
Bank Indonesia juga sudah meluncurkan standar QRIS, Open API dan BI-Fast untuk mendukung terbentuknya ekosistem digital yang dapat mengakomodir sentralisasi pemrosesan terhadap transaksi dari industri, pemerintah, transportasi, fintech, techfin dan perbankan.
Kesimpulannya yang dapat ditarik dengan adanya fenomena ini adalah transformasi digital bank perlu dikaji, direncanakan dan diputuskan secara menyeluruh (end to end) dimulai dari front end middle layer sampai pada back end yang merupakan strategi jangka menengah-panjang yang harus disepakati dan didukung oleh semua stakeholder (BoD and BoC) karena transformasi digital akan membutuhkan dukungan serta memberikan dampak untuk bisnis, teknologi, operation, keuangan, resiko dan human capital (managing digital talent).
Keberhasilan dari transformasi digital juga dimulai dari rencana strategis bisnis ke depan dan memperhatikan segmen pasar yang menjadi target utama, karena setiap segmen pasti memiliki karakteristik yang berbeda.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel