Skandal Peringkat EODB Bank Dunia, Jubir Luhut Angkat Bicara

Bisnis.com,18 Sep 2021, 16:11 WIB
Penulis: Newswire
Karyawati beraktivitas di dekat logo Bank Dunia di Jakarta, Rabu (1/3)./JIBI-Dwi Prasetya

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan melalui juru bicaranya, Jodi Mahardi, menanggapi skandal pemeringkatan tingkat kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) yang melibatkan pejabat Bank Dunia.

Seperti diketahui, EODB disebut-sebut sebagai salah satu acuan bagi pemerintah untuk menyusun kebijakan dalam Undang-udang Cipta Kerja atau Omnibus Law.

Jodi menuturkan klausul-klausul peraturan dalam Omnibus Law tidak hanya dilandasi pada EODB, beleid sapu jagat ini disusun dengan melihat kebutuhan penyederhanaan regulasi di Indonesia.

“Kebijakan Omnibus Law bukan hanya dilandasi oleh EODB, tapi memang karena ada kebutuhan penyederhanaan regulasi secara besar-besaran,” ujar Jodi, Sabtu (18/9/2021).

Jodi mengatakan tujuan utama pembuatan Omnibus Law pun bukan untuk mengejar peringkat EODB. Menurutnya, Omnibus Law diciptakan untuk menjamin iklim berusaha dan investasi yang berkualitas, baik bagi para pelaku bisnis, termasuk UMKM, maupun investor.

Bank Dunia sebelumnya mengumumkan telah menyetop sementara laporan kemudahan berusaha akibat adanya dugaan skandal yang melibatkan Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF). Skandal disinyalir terjadi pada 2018-2020 menurut keterangan resmi Bank Dunia.

"Setelah penyimpangan data Doing Business 2018 dan 2020 dilaporkan secara internal pada Juni 2020, manajemen Bank Dunia menghentikan sementara laporan Doing Business berikutnya dan memulai serangkaian tinjauan dan audit atas laporan dan metodologinya," tulis Bank Dunia pada Jumat (17/9/2021).

Bank Dunia mengendus adanya permasalahan etika dan akuntabilitas yang dilakukan oleh mantan pejabat lembaga internasional itu dan melakukan evaluasi. Manajemen juga menggelar audit atas laporan-laporan EODB.

Setelah meninjau semua informasi yang dihimpun tentang EODB, Bank Dunia memutuskan mengambil kebijakan menghentikan laporan dan akan menyusun metode anyar untuk mengukur peringkat kemudahan berusaha selanjutnya.

"Grup Bank Dunia tetap berkomitmen kuat untuk memajukan peran sektor swasta dalam pembangunan dan memberikan dukungan  untuk membuat peraturan yang mendukung hal ini. Ke depan, kami akan mengerjakan pendekatan baru untuk menilai iklim bisnis dan investasi," tulis Bank Dunia.

Adapun laporan EODB selama ini telah membantu negara-negara membuat keputusan yang tepat untuk meningkatkan perekonomiannya. Penelitian juga telah menjadi alat bagi sektor swasta, masyarakat sipil, akademikus, jurnalis, dan pihak lain memperluas pemahaman tentang isu-isu global.

Managing Director IMF Kristalina Georgieva pada hari Kamis (16/9/2021) membantah penyelidikan independen yang menemukan bahwa dalam pekerjaan sebelumnya di Bank Dunia, dia telah menekan staf untuk mengubah laporan untuk menghindari kemarahan China.

Menurut penyelidikan independen, Beijing mengeluh tentang peringkatnya yang ke-78 dalam daftar pada tahun 2017, dan laporan tahun depan akan menunjukkan bahwa Beijing turun lebih jauh. 

Staf Bank Dunia yang berbasis di Washington sedang mempersiapkan edisi 2018 sementara para pemimpin tengah terlibat dalam negosiasi sensitif untuk meningkatkan modal pinjamannya, yang bergantung pada kesepakatan dengan China dan Amerika Serikat. 

Dalam minggu-minggu terakhir sebelum laporan itu dirilis pada akhir Oktober 2017, Presiden Bank Dunia Jim Kim dan Georgieva meminta staf untuk memperbarui metodologi sehubungan dengan China, menurut penyelidikan oleh firma hukum WilmerHale. 

Kim membahas peringkat dengan pejabat senior China yang kecewa dengan peringkat negara itu dan para pembantunya mengangkat masalah bagaimana meningkatkannya, menurut ringkasan penyelidikan, yang dirilis oleh Bank Dunia. 

Hal ini dianggap sebagai salah satu prestasi Kim bahwa dia menggiring kesepakatan untuk peningkatan US$13 miliar sumber daya Bank Dunia. Tawar menawar itu membutuhkan dukungan dari presiden AS pada saat itu Donald Trump, yang menentang pinjaman lunak ke China, dan dari Beijing, yang setuju untuk membayar lebih banyak untuk pinjaman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Simak berita lainnya seputar topik di bawah ini:
Editor: Hadijah Alaydrus
Terkini