Bisnis.com, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) dinilai memiliki amunisi yang cukup dalam menghadapi guncangan nilai tukar rupiah di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.
Salah satu indikatornya, yaitu posisi cadangan devisa Indonesia yang menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan ke level US$144,8 miliar pada Agustus 2021.
Adapun, salah satu pendorong naiknya cadangan devisa adalah diberikannya Special Drawing Rights (SDR) dari IMF kepada negara anggota termasuk Indonesia.
Nilai cadangan devisa saat ini mampu untuk membiayai impor dan utang luar negeri pemerintah selama 8,7 bulan ke depan.
“Dengan tingginya nilai devisa maka diharapkan BI memiliki cukup amunisi untuk menghadapi guncangan nilai tukar di masa depan,” tulis LPEM FEB UI dalam laporan analisisnya yang dikutip Bisnis, Rabu (22/9/2021).
Hingga pertengahan September 2021, nilai tukar rupiah masih mencatat depresiasi sebesar 1,44 persen (year-to-date/ytd). Namun demikian, depresiasi tersebut disebutkan masih jauh lebih baik dari beberapa negara berkembang lainnya, seperti Malaysia dan Thailand.
Nilai tukar beberapa negara berkembang diperkirakan akan mulai menguat seiring dengan terpusatnya fokus pasar pada rapat bulanan The Fed (FOMC) yang akan di adakan pada awal minggu depan.
Di sisi lain, LPEM FEB UI menilai kebijakan Local Currency Settlement (LCS) antara BI dan People’s Bank of China (PBOC) dapat mendorong keberlangsungan industri, dengan adanya potensi turunnya ketidakpastian arus perdagangan seiring makin stabilnya nilai tukar.
Gubernur BI dalam konferensi persnya pada Selasa (22/9/2021), menyampaikan bahwa berdasarkan stress test yang telah dilakukan, diperkirakan dampak dari tapering the Fed ke perekonomian domestik tidak akan sebesar taper tantrum pada 2013.
“Dengan berbagai asesmen dan kondisi ekonomi Indonesia, Insyaallah dampak tapering tentu saja bisa diantisipasi secara baik dan lebih rendah dibandingkan Fed taper tantrum pada 2013,” katanya.
Perry menyampaikan, sektor ketahanan eksternal Indonesia pun saat ini jauh lebih kuat dibandingkan dengan 2013. Selain posisi cadangan devisa yang tinggi, defisit transaksi berjalan juga diperkirakan rendah, pada kisaran 0,6 hingga 1,4 persen.
BI juga, imbuhnya, terus berupaya melakukan upaya stabilisasi nilai tukar rupiah melalui kebijakan triple intervention, yaitu di pasar spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder. Koordnasi yang kuat juga terus dilakukan bersama dengan Kementerian Keuangan.
Perry memperkirakan tapering the Fed paling cepat baru akan dilakukan pada November 2021 dan akan berlanjut pada 2022, sementara kenaikan suku bunga the Fed baru akan dilakukan pada kuartal III/2022.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel